A. Pengertian Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK)
Anak
berkebutuhan khusus pada awalnya dikenal dengan istilah anak cacat, anak
berkelainan atau anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam
proses pertumbuhan dan perkembangannya secara signifikan mengalami kelainan
atau penyimpangan ( fisik,
mental-intelektual, sosial, emosional ) dibanding dengan anak-anak lain
seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkebutuhan
khusus merupakan anak yang mengalami gangguan dalam bidang intelegensi, fisik,
sensori, emosi, atau perilaku, mempunyai gangguan belajar, atau mempunyai bakat
khusus. Termasuk di dalamnya adalah anak dengan masalah kesehatan mental
(misalnya depresi, gangguan bunuh diri), kesehatan medis (misalnya autism,
asperger, disleksia, disgrafia, asma), kesulitan proses informasi, gangguan
bahasa, kerusakan sensori, dan hidup di lingkungan sulit.
Anak
Berkebutuhan Khusus memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak
pada umumnya karena mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan baik
permanen maupun temporer yang disebabkan oleh:
1.
Faktor Lingkungan
2.
Faktor dalam diri Anak Sendiri
3.
Kombinasi Keduanya
Hambatan yang
dimiliki ABK tidak saja berdampak bagi dirinya tetapi juga berdampak bagi orang
tua. Hal-hal yang dirasakan orang tua diantaranya adalah merasa kebingungan
menghadapi hambatan anak, merasa takut akan masa depan anak, merasa bersalah,
mengasihi dirinya, membenci dirinya, cemas, marah, dan lain sebagianya. Ketika
orang tua memiliki tanggapan yang berbeda dalam memandang persoalan hambatan
yang dimiliki oleh anaknya, maka ini sangat memungkinkan mereka untuk dapat
berpartisipasi dalam proses treatment bagi anaknya.
B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Ada banyak
klasifikasi anak berkebutuhan khusus, mencakup anak-anak yang kelainan fisik,
mental emosional, maupun masalah akademik.
1.
Anak-Anak Berkelainan Fisik
a)
Klasifikasi Anak Tunanetra
Tunanetra
memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Secara pedagogis membutuhkan pelayanan
pendidikan khusus dan belajarnya di sekolah. Berdasarkan tingkatannya,
dibedakan atas :
1)
Berdasarkan Tingkat Ketajaman
Penglihatan
Seseorang
dikatakan penglihatannya normal, apabila hasil tes Snellen menunjukkan ketajaman
penglihatannya 20/20 atau 6/6 meter. Sedangkan untuk seseorang yang mengalami
kelainan penglihatan kategori low vision (kurang lihat), yaitu
penyandang tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m. kondisi
yang demikian sesungguhnya penderita masih dapat melihat dengan bantuan alat
khusus. Selanjutnya untuk seseorang yang mengalami kelainan penglihatan
kategori berat, atau The blind, yaitu penyandang tunanetra yang memiliki
tingkat ketajaman penglihatan 6/60m atau kurang. Untuk yang kategori berat ini
masih ada dua kemungkinan,
a.
Penderita adakalanya masih dapat
melihat gerakan-gerakan tangan.
b.
Hanya dapat membedakan gelap dan
terang.
Sedangkan
tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan dengan visus 0, sudah sama sekali
tidak dapat melihat.
2)
Berdasarkan Adaptasi Pedagogis
Kirk, SA (1989)
mengklasifikasikan penyandang tunanetra berdasarkan kemampuan penyesuaiannya
dalam pemberian layanan pendidikan khusus yang diperlukan. Klasifikasi yang
dimaksud adalah :
a.
Kemampuan melihat sedang (moderate
visual disability), dimana pada taraf ini mereka masih dapat melaksanakan
tugas-tugas visual yang dilakukan oleh orang awas dengan menggunakan alat bantu
kgusus serta dengan bantuan cahaya yang cukup.
b.
Ketidakmampuan melihat taraf berat
(severe visual disability). Pada taraf ini, mereka memiliki
penglihatan yang kurang baik, atau kurang akurat meskipun dengan menggunakan
alat bantu visual dan modifikasi, sehingga mereka membutuhkan banyak dan tenaga
dalam mengerjakan tugas-tugas visual.
c.
Ketidakmampuan melihat taraf sangat
berat (profound visual disability). Pada taraf ini mereka mengalami
kesulitan dalam melakukan tugas-tugas visual, dan tidak dapat melakukan
tugas-tugas visual yang lebih detail seperti membaca dan menulis. Untuk itu
mereka sudah tidak dapat memanfaatkan penglihatannya dalam pendidikan, dan
mengandalkan indra perabaan dan pendengaran dalam menempuh pendidikan.
b)
Klasifikasi Anak Tunarungu
Tunarungu
adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau
telinga seorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami hambatan atau
keterbatasan merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Tunarungu terdiri atas
beberapa tingkatan kemampuan mendengar, yaitu umum dan khusus. Ada beberapa
klasifikasi anak turarungu secara umum, yaitu :
1)
Klasifikasi umum
The deaf, atau tuli,
yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan tingkatan ketulian
diatas 90 dB.
Hard of hearing, atau kurang dengar,
yaitu penyandang tunarungu ringan atau sedang, dengan derajat ketulian 20-90
dB.
2)
Klasifikasi khusus
a.
Tunarungu ringan, yaitu penyandang
tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 25-45 dB. Yaitu seseorang yang
mengalami ketunarunguan taraf ringan, dimana ia mengalami kesulitan untuk
merespon suar-suara yang datangnya agak jauh. Pada kondisi yang demikian,
seorang anak secara pedagogis sudah memerlukan perhatian khusus dalam
belajarnya di sekolah, misalnya dengan menempatkan tempat duduk dibagian depat,
dekat dengan guru.
b.
Tunarungu sedang, yaitu penyandang
tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 46-70 dB. Yaitu seseorang
yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana ia hanya dapat mengerti
percakapan pada jarak3-5 feet secara berhadapan, tetapi tidak dapat mengikuti
diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak yang mengalami ketunarunguan taraf
inimemerlukan adanya alat bantu dengar (hearing aid), dan memerlukan
pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan irama.
c.
Tunarungu berat, yaitu penyandang
tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 71 – 90 dB. Seseorang yang
mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam
jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Siswa dengan kategori ini juga
memerlukan alat bantu dengar dalam mengikuti pendidikanya di sekolah.
Siswa juga sangat memerlukanadanya pembinaan-pembinaan atau latihan-latihan
komunikasi dan pengembangan bicaranya.
d.
Tunarungu sangat berat (profound),
yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 90 dB keatas.Pada taraf ini,
mungkin seseorang sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi mungkin
masih bisa merespon melalui getaran-getaran yang ada. Untuk kegiatan pendidikan
dan aktivitas lainnya, penyandang tunarungu kategori ini lebih mengandalkan
kemampuan visual atau penglihatannya.
c)
Klasifikasi Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa
adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat tubuh, yang mencakup
kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan gerak dan kelumpuhan,
yang sering disebut sebagai cerebral palsy (CP), dengan klasifikasi sebagai
berikut :
1)
Menurut tingkat kelainannya, anak-anak
tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Cerebral Palsy
(CP) :
a.
Ringan, dapat berjalan tanpa alat
bantu, mampu berbicara dan dapat menolong dirinya sendiri.
b.
Sedang, memerlukan bantuan untuk
berjalan, latihan berbicara, dan mengurus dirinya sendiri.
c.
Berat, memerlukan perawatan tetap dalam
ambulansi, berbicara, dan menolong diri sendiri.
2)
Berdasarkan letaknya:
a.
Spastic, kekakuan pada
sebagian atau seluruh ototnya.
b.
Dyskenisia, gerakannya
tak terkontrol (athetosis), serta terjadinya kekakuan pada seluruh tubuh yang
sulit digerakkan (rigid).
c.
Ataxia, gangguan
keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi, dan cara berjalannya
gontai.
d.
Campuran, yang mengalami kelainan
ganda.
3)
Polio
a.
Tipe spinal, kelumpuhan pada
otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki.
b.
Tipe bulbair, kelumpuhan fungsi
motorik pada satu atau lebih saraf tepi yang menyebabkan adanya gangguan
pernafasan.
c.
Tipe bulbispinalis, gangguan antara
tipe spinal dan bulbair.
d.
Encephalitis, yang umumnya
ditandai dengan adanya demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang
kejang.
2.
Anak Berkelainan Mental Emosional
a)
Klasifikasi Anak Tunagrahita
Untuk memahami klasifikasi
anak tunagrahita maka perlu disesuaikan dengan klasifikasinya karena setiap
kelompok tunagrahita memiliki klasifikasi yang berbeda-beda. Klasifikasi
akademik tunagrahita berdasarkan barbagai tinjauan diantaranya :
1) Berdasarkan kapasitas
intelektual (skor IQ)
a.
Tunagrahita ringan IQ 50-70
b.
Tunagrahita sedang IQ 35-70
c.
Tunagrahita berat IQ 20-35
d.
Tunagrahita sangat berat memiliki IQ di
bawah 20
2)
Berdasarkan kemampuan akademik
a.
Tunagrahita mampu didik
b.
Tunagrahita mampu latih
c.
Tunagrahita perlu rawat
3)
Berdasarkan tipe klini pada fisik
a.
Down’s Syndrone (mongolism
b.
Macro
Cephalic (Hidro Cephalic)
c.
Micro Cephalic
Pengklasifikasian anak tunagrahita
perlu dilakukan untuk memudahkan guru dalam menyusun program layanan/
pendidikan dan melaksanakannya secara tepat. Perlu diperhatikan bahwa perbedaan
individu (individual deferences) pada anak tunagrahita bervariasi sangat besar,
demikian juga dalam pengklasifikasi terdapat cara yang sangat bervariasi
tergantung dasar pandang dalam pengelompokannya. Klasifikasi itu sebagai
berikut:
1.
Klasifikasi yang berpandangan medis,
dalam bidang ini memandang variasi anak tunagrahita dari keadaan tipe klinis.
Tipe klinis pada tanda anatomic dan fisiologik yang mengalami patologik atau
penyimpangan. Kelompok tipe klinis diantaranya :
a. Down Syndrom (dahulu
disebut mingoloid)
Pada tipe ini
terlihat raut rupanya menyerupai orang Mongol dengan cirri : mata sipit dan
miring, lidah tebal dan terbelah-belah serta biasanya menjulur keluar, telinga kecil,
tangan kering, semakin dewasa kulitnya semakin kasar, pipi bulat, bibir tebal dan besar,
tangan bulat dan lemah, kecil, tulang tengkorak dari muka hingga belakang
tampak pendek.
b. Kretin
Pada tipe
kretin nampak seperti orang cebol dengan ciri: badan pendek, kaki tangan
pendek, kulit kering, tebal, dan keriput, rambut kering, kuku pendek dan tebal.
c. Hydrocephalus
Gejala yang
nampak adalah semakin membesarnya Cranium
(tengkorak kepala) yang disebabkan oleh semakin bertambahnya atau bertimbunnya
cairan Cerebro-spinal pada kepala.
Cairan ini member tekanan pada otak besar (cerebrum)
yang menyebabkan kemunduran fungsi otak.
d. Microcephalus,
Macrocephalus, Brachicephalus, dan Schaphocephalus
Keempat istilah
tersebut menunjukkan kelainan bentuk dan ukuran kepala, yang masing-masing
dijelaskan sebagai berikut :
a.
Microcephalus : bentuk
ukuran kepala yang kecil.
b.
Macrocephalus: bentuk ukuran
kepala lebih besar dari ukuran normal.
c.
Brachicephalus: bentuk kepala
yang melebar.
d.
Schaphocephalus: memiliki
ukuran kepala yang panjang sehingga menyerupai menara.
e. Cerebral Palsy (kelompok
kelumpuhan pada otak)
Kelumpuhan pada
otak mengganggu fungsi kecerdasan, disamping kemungkinan mengganggu pusat
koordinasi gerak, sehingga kelainan cerebral palsy terdiri tunagrahita dan
gangguan koordinasi gerak. Gangguan koordinasi gerak menjadi kajian dalam
bidang penanganan tunagrahita.
f.
Rusak Otak (brain damage)
Kerusakan otak
berpengaruh pada berbagai kemampuan yang dikendalikan oleh pusat susunan syaraf
yang selanjutnya dapat terjadi gangguan kecerdasan, gangguan pengamatan,
gangguan tingkah laku, gangguan perhatian, gangguan motorik.
2.
Klasifikasi yang berpandangan
pendidikan, memandang variasi anak tunagrahita dalam kemampuannya mengikuti
pendidikan. Kalangan American Education (Moh. Amin, 1995:21) mengelompokkan
menjadi Educable mentally retarded, trainable mentally retarded and Totally
/ costudial dependent yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia : mampu
didik, mampu latih, dan perlu rawat. Pengelompokan tersebut sebagai berikut :
a.
Mampu didik,anak ini setingkat mild,
borderline, marginally dependent, moron, dan debil. IQ mereka berkisar
50/55-70/75.
b.
Mampu latih, setingkat dengan morderate,
semi dependent, imbesil, dan memiliki tingkat kecerdasan IQ berkisar
20/25-50/55.
c.
Perlu rawat, mereka termasuk totally
dependent or profoundly mentally retarded, severe, idiot, dan tingkat
kecerdasannya 0/5-20/25.
3.
Klasifikasi yang berpandangan
sosiologis, memandang variasi
tunagrahita dalam kemampuannya mandiri di masyarakat, atau peran yang dapat
dilakukannya dalam masyarakat. Menurut AAMD (Amin, 1995:22-24) klasifikasi itu
sebagai berikut :
a.
Tunagrahita ringan, tingkat kecerdasan
(IQ) mereka berkisar 50-70, dalam penyelesaian diri pada lingkungan social yang
lebih luas dan mampu melakukan pekerjaan setingkat semi terampil.
b.
Tunagrahita sedang, tingkat kecerdasan
(IQ) mereka berkisar antara 30-50, mampu melakukan keterampilan mengurus diri
sendiri (self-help), mampu mengadakan adaptasi social dilingkungan
terdekat, dan mampu mengerjakan pekerjaan yang rutin yang perlu pengawasan atau
bekerja ditempat kerja terlindung (sheltered work shop).
c.
Tunagrahita berat dan sangat berat,
mereka sepanjang hidupnya selalu tergantung bantuan dan perawatan orang lain.
Ada yang masih mampu dilatih mengurus sendiri dan komunikasi secara sederhana
dan dalam batas tertentu, mereka memiliki tingkat kecerdasan (IQ) kurang dari
30.
4.
Klasifikasi yang dikemukakan oleh Leo
Kanner (Amin, 1995:22-24), dan ditinjau dari sudut tingkat pandangan masyarakat
sebagai berikut :
a.
Tunagrahita absolute, termasuk
kelompok tunagrahita yang jelas nampak ketunagrahitaannya baik berada di
pedesaan maupun perkotaan, dimasyarakat petani, maupun masyarakat industry, di lingkungan
sekolah, lingkungan keluarga dan di tempat pekerjaan. Golongan ini penyandang
tunagrahita kategori sedang.
b.
Tunagrahita relative, termasuk
kelompok tunagrahita yang dalam masyarakat tertentu dianggap tunagrahita,
tetapi di tempat masyarakat lain tidak dipandangtunagrahita. Anak tunagrahita
dianggap demikian adalah anak tunagrahita ringan karena masyarakat perkotaan
yang maju dianggap tunagrahita dan di masyarakat pedesaan yang masih
terbelakang dipandang bukan tunagrahita.
c.
Tunagrahita semu (pseudo mentally
retarded) yaitu anak tunagrahita yang menunjukkan penampilan sebagai
penyandang tunagrahita tetapi sesungguhnya ia mempunyai kapasitas kemampuan
yang normal. Misalnya seorang anak dikirim ke sekolah khusus karena menurut
kasil tes kecerdasannya rendah, tetapi setelah mendapat pengejaran remedial dan
bimbingan khusus menjadikan kemampuan belajar dan adaptasi sosialnya normal.
5.
Klasifikasi menurut kecerdasan (IQ),
dikemukakan oleh Grosman (Hallahan & Kauffman, 1988:48) sebagai berikut :
TERM |
IQ RANGE FOR
LEVEL |
Mild Mental
Retardation Moderate
Mental Retardation Severe Mental
Retardation Profound
Mental Retardation |
55-70 to
Aprox, 70 35-40 to
50-55 20-25 to
35-40 Bellow 20 or
25 |
b)
Klasifikasi Anak
Tunalaras
Anak tunalaras
adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan
sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan
intelektual yang normal, atau tidak berada dibawah rata-rata. Kelainan lebih banyak terjadi pada perilaku
sosialnya.
Beberapa
klasifikasi yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami
kelainan perilaku sosial ini adalah
:
1.
Berdasarkan perilakunya.
a.
Beresiko tinggi ; hiperaktif suka
berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik sendiri atau orang lain, melawan,
sulit berkonsentrasi, tidak mau bekerja sama, sok aksi, ingin menguasai orang lain,
mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri,
mengejek, dan sebagainya.
b.
Beresiko rendah ; autism, khawatir,
cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau bergaul, menarik diri, kurang
percaya diri, bimbang, sering menangis, malu, dan sebagainya.
c.
Kurang dewasa ; suka berfantasi,
berangan-angan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, suka mengantuk, mudah bosan,
dan sebagainya.
d.
Agresif ; memiliki gang jahat, suka
mencuri dengan kelompoknya, loyal terhadap teman jahatnya, sering bolos
sekolah, sering pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah.
2.
Berdasarkan kepribadian
a.
Kekacauan perilaku.
b.
Menarik diri (withdrawll).
c.
Ketidakmatangan (immaturity).
d.
Agresi social
3.
Anak Berkelainan Akademik
a)
Klasifikasi Anak Berbakat
Anak berbakat
dalam konteks ini adalah anak-anak yang mengalami kelainan intelektual di atas
rata-rata. Berkenaan dengan kemampuan intelektual ini Cony Semiawan (1997:24)
mengemukakan, bahwa
diperkirakan satu persen dari populasi total penduduk Indonesia yang rentangan
IQ sekitar 137 keatas, merupakan manusia berbakat tinggi (highly gifted), sedangkan
mereka yang rentagannya berkisar 120-137 yaitu yaitu yang mencakup rentangan 10
persen di bawah yang satu persen itu disebut moderately gifted. Mereka
semua memiliki talen akademik (academic talented) atau keberbakatan
intelektual.
Beberapa
kalsifikasi yang menonjol dari anak-anak berbakat umumnya hanya dilihat dari
tigkat inteligensinya ,berdasarkan standar Stanford Binet, yang meliputi :
1.
Kategori rata-rata tinggi, dengan tingkat
kapasitas intelktual (IQ) : 110-119
2.
Kategori superior, dengan tingkat
kapasitas intelektual (IQ) : 120-139
3.
Kategori sangat superior, dengan tingkat
intelektual (IQ) : 140-169
a.
Kebutuhan Pendidikan Anak Berbakat
1. Kebutuhan Pendidikan
dari Segi Anak Berbakat itu Sendiri. Oleh karena potensi yang dimiliki anak berbakat
sedemikian hebatnya jika dibandingkan dengan anak biasa maka untuk
mengembangkan potensinya mereka membutuhkan hal-hal berikut ini :
a)
Anak berbakat membutuhkan peluang untuk
mencapai aktualisasi potensinya melalui penggunaan fungsi otak yang efektif dan
efisien.
b)
Membutuhkan peluang untuk dapat
berinteraksi dengan anak-anak lainnya sehingga mereka tidak menjadimanusia yang
memiliki superioritas intelektual saja tetapi merupakan manusia yang mempunyai
tingkat penyesuaian yang tinggi pula.
c)
Membutuhkan peluang untuk mengembangkan
kreativitas dan motivasi internal untuk belajar berprestasi karena usaha
pengembangan anak berbakat tidak semata-mata hanya pada aspek kecerdasan saja.
2. Kebutuhan
pendidikan yang Berkaitan dengan Kepentingan Masyarakat.
Kehadiran anak
berbakat dengan potensinya yang bermakna sangatlah merugikan jika potensi yang
dimiliki anak tersebut tidak diakomodasi dan didorong untuk berkembang sehingga
dapat berguna dalam pengembangan bangsa dan negara . Oleh karena itu
,pendidikan anak berbakat membutuhkan dukungan dari masyarakat, antara lain
sebagai berikut :
a)
Membutuhkan kepedulian dari masyarakat
terhadap pengembangan potensi anak berbakat.
b)
Membutuhkan pengembangan SDM berbakat.
c)
Anak berbakat membutuhkan keserasian
antara kemampuannya dengan pengalaman belajar.
d)
Membutuhkan usaha untuk mewujudkan
kemampuan anak berbakat secara nyata (real) melalui latiahan yang sesuai
dengan segi keberbakatan anak berbakat itu sendiri.
Jenis-jenis
Layanan Bagi Anak-anak Berbakat.
1.
Sebagai
Persiapan Penentuan Jenis Layanan.
Sebelum
mementukan jenis layanan pendidikan bagi anak berbakat, kita perlu
memperhatikan beberapa hal yang penting antara lain sebagai berikut :
a)
Pengidentifikasian anak berbakat.
Karakteristik
anak berbakat yang dikemukakan pada uraian sebelumnya diharapkan dapat
memperlancar usaha penemuan dan penempatan anak berbakat. Hal tersebut sangat
membantu dalam menetapkan kebutuahan pendidikan anak berbakat. Alat–alat yang
digunakan dalam identifikasi berfokus pada bebrapa hal, seperti yang
dikemukakan oleh Kirk (1986) yaitu kelncaran (kemampuan untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan yang diberikan), kelenturan ( kemapuan untuk memberikan
berbagai macam jawaban atau beralih dari satu macam respons ke respons lain),
dan kemurnian (kemampuan untuk memberikan respons yang unik dan layak).
Selanjutnya
Renzulli, dkk seperti dikutip Conny Semiawan (1995) mengemukakan bahwa
identifikasi anak berbakat harus mewakili kawasan-kawasan kemapuan intelektual
umum, komitmen terhadap tugas dan kreativitas .
b)
Tujuan umum pendidikan anak berbakat.
Tujuan program
pendidikan anak berbakat adalah:
1.
Anak-anak berbakat harus menguasai
system konseptual yang penting ada pada tingkat kemampuan mereka dalam berbagai
bidang mata pelajaran.
2.
Anak-anak berbakat harus mengembangkan
keterampilan dan strategi yang memungkinkan mereka menjadi mandiri, kreatif,
dan memenuhi kebutuhan dirinya.
3.
Anak-anak berbakat harus mengembangkan
suatu kesenangan dan kegairahan tentang belajar yang akan membawa mereka melaui
kerja keras dan kerutinan yang merupakan bagian proses yang tidak dapat
dihindarkan (Samuel A. Kirk, 1986).
2.
Komponen sebagai alternatif
implementasi jenis layanan.
Hal yang
berkaitan dengan implementasi layanan pendidikan anak berbakat yaitu ciri
khas layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak berbakat.
a)
Adaptasi lingkungan belajar.
Ada beberapa
alasan dalam mengadaptasi lingkungan belajar yaitu:
1.
Untuk memberikan kesempatan anak berbakat
dalam berinteraksi dengan teman seusianyadalam jangka waktu tertentu.
2.
Untuk memudahkan guru dalam mengajar
karena berkurangnya keanekaragaman siswa.
3.
Untuk menempatkan siswa berbakat dengan
pengajar yang mempunyai keahlian khusus dalam menangani anak berbakat.
b)
Adaptasi program.
Adaptasi
program dilakukan dalam beberapa cara diantaranya sebagai berikut:
1.
Melalui percepatan/akselerasi siswa.
Stanley
mengemukakan ada beberapa cara percepatan yaitu:
a.
Pemasukan sekolah pada usia dini.
b.
Pelompatan tingkat/kelas.
c.
Percepatan materi anak.
d.
Penempatan yang maju.
e.
Pemasukan ke perguruan tinggi yang
lebih awal
2.
Melalui pengayaan.
Pengayaan isi
(mata pelajaran) memberikan kesempatan pada siswa untuk memberikan materi pada siswa
untuk mempelajari materi secara luas ,seperti menggunakan ilustrasi khusus,
membuat contoh-contoh,
memperkaya
pandangan, dan menemukan
sesuatu.
3.
Pencanggihan materi pelajaran.
Materi
pelajaran harus menantang anak berbakat untuk menggunakan pemikiran atau yang
tinggi agar mengerti ide, dan memiliki abstraksi yang tinggi.
4.
Pembaruhan.
Pembaruhan isi
pelajaran adalah pengenalan materi yang tak biasanya tak akan muncul dalam
kurikulum umum karena keterbatasan waktu
atau abstraknya sifat isi pelajaran.
c)
Modifikasi kurikulum sebagai alternatif
1.
Kurikulum plus.
Herry
Widyastono (1996) mengemukakan bahwa kurikulum plus dikembangkan dari kurikulum
(nasional) yang diperluas dan diperdalam (pengayaan horizontal dan vertikal),
agar siswa mampu memanisfetasikan potensi proses pemikiran tingat tinggi.
2.
Kurikulum berdiferensiasi.
Conny Setiawan
(1995) mengemukakan bahwa kurikulum berdiferensiasi dirancang dengan mengacu
pada penanjakan kehidupan mental melalui berbagai program yang akan menumbuhkan
kreatifitas serta mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual tingkat
tinggi.
4. Klasifikasi
Anak Berkesulitan belajar.
Berkesulitan
belajar merupakan salah satu jenis anak berkebutuahan khusus yang ditandai
dengan adanya kesulitan untuk mencapai standar kompetensi (prestasi) yang telah
ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional. Learning disability
merupakan salah satu istilah yang mewadahi berbagai jenis kesulitan yang
dialami anak terutama yang berkaitan dengan masalah akademis.Adapun
klasifikasi anak berkesulitan belajar spesifik yang merupakan jenis kelainan
unik tidak ada kesamaan antara penderita satu dengan yang lainnya.Untuk
mengklasifikasikan anak berkesulitan belajar spesifik dapat dilakukan berdasar
pada tingkat usia dan juga jenis kesulitannya, yaitu:
a.
Kesulitan Belajar Perkembangan.
Pengelompokkan
kesulitan belajar pada anak usia di bawah 5 tahun (balita) adalah kesulitan
belajar perkembangan,
hal ini
dikarenakan anak balita belum belajar secara akademis, tetapi belajar dalam
proses kematangan prasyarat akademis, seperti kematangan persepsi visual-audiotory,
wicara, daya diferensiasi, kemampuan sensory-motor dsb.
b.
Kesulitan Belajar Akademik.
Anak-anak usia
sekolah yaitu usia di atas 6 tahun masuk dalam kelompok kesulitan belajar
akademik anak-anak ini mengalami kesulitan bidang akademik di sekolah yang
sangat spesifik yaitu kesulitan dalam satu jenis/bidang akademik seperti
berhitung/matematika (diskalkulia), kesulitan membaca (disleksia),
kesulitan menulis (disgraphia), kesulitan bebahasa (dysphasia),
kesulitan tidak terampil (dispraksia), dsb.
Ada klasifikasi
lain yang berdasarkan jenis gangguan atau kesulitan yang dialami anak yaitu:
a.
Dispraksia: merupakan
gangguan pada keterampilan motorik, anak terlihat kurang terampil dalam
melakukan aktivitas motorik. Seperti sering menjatuhkan benda yang di pegang,
sering memecahkan gelas kalau minum.
b.
Disgraphia: kesulitan
dalam menulis ada yang memang karena gangguan pada motoris sehingga tulisannya
sulit untuk dibaca orang lain, ada yang sangat lambat aktivitas motoriknya, dan
juga adanya hambatan pada ideo motorik sehingga sering salah atau tidak sesuai
apa yang dikatakan dengan yang ditulis.
c.
Diskalkulia: adalah
kesulitan dalam berhitung dan matematika hal ini sering dikarenakan adanya
gangguan pada memori dan logika.
d.
Disleksia: merupakan
kesulitan membaca baik membaca permulaan maupun pemahaman.
e.
Disphasia: kesulitan
berbahasa dimana anak sering melakukan kesalahan dalam berkomunikasi baik
menggunakan tulisan maupun lisan.
f.
Body awareness: Anak tidak
memiliki akan kesadaran tubuh sering salah prediksi pada aktivitas gerak
mobilitas seperti sering menabrak bila berjalan.
C. Karakteristik Anak Berkebutuhan
Khusus
1. Tunanetra
Definisi tunanetra adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi
penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan.
Karakterisitiknya:
a.
Dari segi fisik Nampak sekali kelainan
pada organ penglihatan yang secara nyata dapat dibedakan dengan anak pada
umumnya.
b.
Dalam segi motorik hilangnya indra
penglihatan tidak berpengaruh secara langsung hanya anak penderita tunanetra
ini kurang mampu melakukan orientasi lingkungan.
c.
Anak tunanetra sering menunjukan
perilaku stereotip.
d.
Dalam bidang akademik anak tunanetra
membutuhkan bantuan lebih dalam hal membaca dan menulis.
e.
Anak tunanetra sering mempunyai
kesulitan dalam melakukan perilaku social yang benar.
2. Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik
permanen maupun tidak permanen.
a.
Karakteristik dari segi fisik :
1)
Cara berjalannya kaku dan agak
membungkuk.
2)
Pernapasannya pendek dan sering tidak
teratur.
3)
Cara melihatnya beringas.
b.
Dari segi bahasa:
1)
Miskin kosakata.
2)
Sulit mengartikan kata-kata yang
mengandng ungkapan.
3)
Tata bahasanya kurang teratur.
c.
Dari segi intelektual :
1)
Kemampuan intelektualnya normal.
2)
Perkembangan akademiknya lamban akibat
keterbatasan bahasa.
d.
Dari segi social-emosional:
1)
Sering merasa curiga.
2)
Sering bersikap agresif.
3. Tunadaksa
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh
kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau
akibat kecelakaan.
Berikut identifikasi anak yang mengalami kelainan anggota tubuh tubuh/gerak
tubuh:
a.
Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh.
b.
Kesulitan dalam gerakan.
c.
Terdapat bagian anggota gerak yang
tidak lengkap/tidak sempurna.
d.
Terdapat cacat pada alat gerak.
e.
Jari tangan kaku dan tidak dapat
menggenggam.
f.
Kesulitan pada saat
berdiri/berjalan/duduk dan menunjukan sikap tubuh tidak normal.
g.
Hiperaktif.
h.
Nilai standardnya 5.
4. Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada
dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku
yang muncul dalam masa perkembangan, klasifikasi tunagrahita didasarkan pada
tingkat IQ.
Karakteristik
anak menderita tunagrahita yaitu sebagai berikut :
a.
Penampilan fisik tidak seimbang,
misalnya kepala terlalu kecil/besar.
b.
Perkembangan bahasa terlambat.
c.
Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap
lingkungan (pandangan kosong).
d.
Koordinasi gerakan kurang (gerakan
sering tidak terkendali).
e.
Sering keluar ludah (cairan) dari
mulut.
5. Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan
kontrol sosial. Penderita tunalaras sering sekali menunjukan perilaku
menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang ada. Karakteristiknya
:
a.
Bersikap membangkang.
b.
Mudah terangsang emosinya.
c.
Sering melakukan tindakan agresif.
d.
Sering bertindak melanggar norma sosial/norma
susila/hukum.
6. Kesulitan
Belajar
Anak dengan kesulitan belajar adalah
individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar
psikologis. Anak ini memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata.
Karakteristik anak kesulitan belajar membaca (disleksia) yaitu sebagai berikut :
a.
Perkembangan kemampuan membaca
terlambat.
b.
Kemampuan memahami isi bacaan rendah.
c.
Kalau membaca sering banyak kesalahan
Karakteristik
anak kesulitan belajar menulis (disgrafia)
yaitu sebagai berikut :
a.
Kalau menyalin tulisan sering terlambat
selesai.
b.
Sering salah menulis huruf b dengan p,
p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9 dsb.
c.
Tulisannya banyak salah.
d.
Sulit menulis dengan lurus pada kertas
tak bergaris.
Karakteristik anak yang mengalami kesulitan
berhitung (diskalkula) :
a.
Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x,
:, >, <, =
b.
Sulit mengoperasikan hitungan.
c.
Sering salah membilang dengan urut.
d.
Sering salah membedakan angka 9 dengan
6, 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8
7. Anak berbakat
Definisi anak berbakat adalah anak yang mempunyai IQ 140 atau lebih,
kreativitas tinggi, mempunyai kemampuan memimpin dan kemampuan dalam seni
drama, seni tari dan seni rupa.Karakteristik anak berbakat :
a.
Membaca pada usia lebih muda.
b.
Membaca lebih cepat dan lebih banyak.
c.
Memiliki perbendaharaan kata yang
luas.
d.
Mempunyai rasa ingin tau yang kuat.
e.
Mempunyai minat yang luas.
f.
Mempunyai inisiatif dan dapat bekerja
sendiri.
g.
Menunjukan keaslian dalam ungkapan
verbal.
h.
Member jawaban-jawaban yang baik.
i.
Dapat memberikan banyak gagasan.
j.
Luwes dalam berpikir.
k.
Terbuka terhadap rangsangan dari
lingkungan.
l.
Berpikir kritis.
m.
Senang mencoba hal baru.
n.
Senang terhadap kegiatan intelektual
dan pemecahan masalah.
o.
Cepat menangkap hubungan sebabakibat.
p.
Berperilaku terarah pada tujuan.
q.
Mempunyai daya imajinasi yang kuat.
r.
Mempunyai banyak kegemaran.
s.
Mempunyai daya ingat yang kuat.
t.
Tidak cepat puas dengan prestasinya
D. Pendidikan Inklusi
Pendidikan Inklusi adalah termasuk hal
yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai
pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah
pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan
hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi
penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait
dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain.
Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling
tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah
kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan
lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan
siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak
yang belum mendapatkan pendidikan.
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar
setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara
memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada
setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam
kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi
keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang
berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik
maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas
segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat
belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki
perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus
disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah
Luar Biasa (SLB).
Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun
tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok
eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling
mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel
menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel.
Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan
menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya
tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul
konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang
mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional
Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal
24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan.
Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya
partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan
persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal
ini para guru.
Meski sampai saat ini sekolah
inklusi masih terus melakukan perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat
dari sisi idealnya sekolah inklusi merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak
dengan dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung
terhadap anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi
spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang
kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki
kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa
berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa
merasa terganggu sedikitpun.
Penyelengaraan sistem pendidikan
inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun
tatanan masyarakat inklusi (inclusive
society).
Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan
menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas
kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan
inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan
pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi
menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus.
Undang – undang tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan
pendidikan inklusinya pun konon telah dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan
sekarang adalah :
1.
Sejauh
mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan
inklusi bagi kelompok difabel?
2.
Bagaimanakah
kurikulum yang dipakai dalam pendidikan inklusi?
Gagagasan pendidikan inklusi
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan
mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang
sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat
adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan
untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak
keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak
tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi
mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di
mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat
anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi,
bahagia dan bertanggung jawab.
Inklusi terjadi pada semua
lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada
sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan
pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of
life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan
ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan
belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusi
adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh
berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan
atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga
melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam
berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam
belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.
Landasan Spiritual
1. Surat An Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
2. Surat Az Zuhruf ayat 32
“Allah
telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat saling
mengambil manfaat (membutuhkan)”.
Landasan Yuridis
1. Konvensi PBB tentang Hak anak tahun
1989.
2. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di
Thailand tahun 1990.
3. Kesepakatan Salamanka tentang
Pendidikan inklusi tahun 1994.
4. UU No. 4 tentang Penyandang Cacat
tahun 1997.
5. UU No. 23 tentang Perlindungan Hak
Anak tahun 2003.
6. PP No. 19 tentang Standar Pendidikan
Nasional tahun 2004.
7. Deklarasi Bandung tentang Menuju
Pendidikan Inklusi tahun 2004.
Kalau kita cermati lebih teliti, landasan spiritual maupun
landasan yuridis tersebut telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang
bagaiman penyelenggaraan pendidikan inklusi yang memang merupakan sebuah
kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Implementasi Di Lapangan
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal
dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat
menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak
termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat
berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang
pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang
sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
(Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah
reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau
sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani
beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang
tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian
kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang
cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan
biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan.
Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi,
di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena
diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan
yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan
sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12
sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta
dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang
dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak
sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada
informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri
Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah
ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua
anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya
jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini
tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD.
Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga
bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak
berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain
dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai
mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum
untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan
kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang
berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan
baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan
potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah
sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung
tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk
implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda
untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu
ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah,
sistem SKS SMA dan lain-lain.
PENGEMBANGAN KURIKULUM
a. Lingkup
Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah
regular (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan
tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan
karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.Modifikasi kurikulum
dilakukan terhadap:
1)
Alokasi
waktu.
2)
Isi/materi
kurikulum.
3)
Proses
belajar-mengajar.
4)
Sarana
prasarana.
5)
Lingkungan
belajar.
6)
Pengelolaan
kelas.
b. Pengembang
Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat
dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang
mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait,
terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah
berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa
(Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD
Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
c. Pelaksanaan
Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1.
Modifikasi
alokasi waktu.
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan
dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi
pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah
Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
a)
Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak
berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
b)
Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat
dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam.
c)
Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban
belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak
tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2.
Modifikasi
isi/materi
a)
Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau
ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi
materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
b)
Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya
diturunkan sedikit.
c)
Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban
belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi
atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian
tertentu.
3.
Modifikasi
proses belajar-mengajar
a)
Mengembangkan
proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan
problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di
atas normal.
b)
Menggunakan
pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap
anak.
c)
Lebih
terbuka (divergent).
d)
Memberikan
kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen,
sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu
kelompok ke kelompok lain.
e)
Menerapkan
pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran
kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk
berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi
secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha
seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun,
dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni
mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan
pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran
kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran
kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan
tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah
kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai.
Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama
serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa
kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harsmonis.
Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang
bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
a.
Tipe
visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.
b.
Tipe
auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.
c.
Tipe
kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera
perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu
saja.