This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

Anak Berkebutuhan Khusus

30
Mei

A.    Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Anak berkebutuhan khusus pada awalnya dikenal dengan istilah anak cacat, anak berkelainan atau anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan ( fisik, mental-intelektual, sosial, emosional ) dibanding dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang mengalami gangguan dalam bidang intelegensi, fisik, sensori, emosi, atau perilaku, mempunyai gangguan belajar, atau mempunyai bakat khusus. Termasuk di dalamnya adalah anak dengan masalah kesehatan mental (misalnya depresi, gangguan bunuh diri), kesehatan medis (misalnya autism, asperger, disleksia, disgrafia, asma), kesulitan proses informasi, gangguan bahasa, kerusakan sensori, dan hidup di lingkungan sulit.

Anak Berkebutuhan Khusus memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya karena mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan baik permanen maupun temporer yang disebabkan oleh:

1.      Faktor Lingkungan

2.      Faktor dalam diri Anak Sendiri

3.      Kombinasi Keduanya

Hambatan yang dimiliki ABK tidak saja berdampak bagi dirinya tetapi juga berdampak bagi orang tua. Hal-hal yang dirasakan orang tua diantaranya adalah merasa kebingungan menghadapi hambatan anak, merasa takut akan masa depan anak, merasa bersalah, mengasihi dirinya, membenci dirinya, cemas, marah, dan lain sebagianya. Ketika orang tua memiliki tanggapan yang berbeda dalam memandang persoalan hambatan yang dimiliki oleh anaknya, maka ini sangat memungkinkan mereka untuk dapat berpartisipasi dalam proses treatment bagi anaknya.

B.     Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Ada banyak klasifikasi anak berkebutuhan khusus, mencakup anak-anak yang kelainan fisik, mental emosional, maupun masalah akademik.

1.      Anak-Anak Berkelainan Fisik

a)      Klasifikasi Anak Tunanetra

Tunanetra memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Secara pedagogis membutuhkan pelayanan pendidikan khusus dan belajarnya di sekolah. Berdasarkan tingkatannya, dibedakan atas :

1)      Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan

Seseorang dikatakan penglihatannya normal, apabila hasil tes Snellen menunjukkan ketajaman penglihatannya 20/20 atau 6/6 meter. Sedangkan untuk seseorang yang mengalami kelainan penglihatan kategori low vision (kurang lihat), yaitu penyandang tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m. kondisi yang demikian sesungguhnya penderita masih dapat melihat dengan bantuan alat khusus. Selanjutnya untuk seseorang yang mengalami kelainan penglihatan kategori berat, atau The blind, yaitu penyandang tunanetra yang memiliki tingkat ketajaman penglihatan 6/60m atau kurang. Untuk yang kategori berat ini masih ada dua kemungkinan,

a.       Penderita adakalanya masih dapat melihat gerakan-gerakan tangan.

b.      Hanya dapat membedakan gelap dan terang.

Sedangkan tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan dengan visus 0, sudah sama sekali tidak dapat melihat.

2)      Berdasarkan Adaptasi Pedagogis

Kirk, SA (1989) mengklasifikasikan penyandang tunanetra berdasarkan kemampuan penyesuaiannya dalam pemberian layanan pendidikan khusus yang diperlukan. Klasifikasi yang dimaksud adalah :

a.       Kemampuan melihat sedang (moderate visual disability), dimana pada taraf ini mereka masih dapat melaksanakan tugas-tugas visual yang dilakukan oleh orang awas dengan menggunakan alat bantu kgusus serta dengan bantuan cahaya yang cukup.

b.      Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability). Pada taraf ini, mereka memiliki penglihatan yang kurang baik, atau kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat bantu visual dan modifikasi, sehingga mereka membutuhkan banyak dan tenaga dalam mengerjakan tugas-tugas visual.

c.       Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability). Pada taraf ini mereka mengalami kesulitan dalam melakukan tugas-tugas visual, dan tidak dapat melakukan tugas-tugas visual yang lebih detail seperti membaca dan menulis. Untuk itu mereka sudah tidak dapat memanfaatkan penglihatannya dalam pendidikan, dan mengandalkan indra perabaan dan pendengaran dalam menempuh pendidikan.

b)      Klasifikasi Anak Tunarungu

Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami hambatan atau keterbatasan merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar, yaitu umum dan khusus. Ada beberapa klasifikasi anak turarungu secara umum, yaitu :

1)      Klasifikasi umum

The deaf, atau tuli, yaitu penyandang tunarungu berat dan sangat berat dengan tingkatan ketulian diatas 90 dB.

Hard of hearing, atau kurang dengar, yaitu penyandang tunarungu ringan atau sedang, dengan derajat ketulian 20-90 dB.

2)       Klasifikasi khusus

a.       Tunarungu ringan, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 25-45 dB. Yaitu seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf ringan, dimana ia mengalami kesulitan untuk merespon suar-suara yang datangnya agak jauh. Pada kondisi yang demikian, seorang anak secara pedagogis sudah memerlukan perhatian khusus dalam belajarnya di sekolah, misalnya dengan menempatkan tempat duduk dibagian depat, dekat dengan guru.

b.      Tunarungu sedang, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 46-70 dB. Yaitu seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf sedang, dimana ia hanya dapat mengerti percakapan pada jarak3-5 feet secara berhadapan, tetapi tidak dapat mengikuti diskusi-diskusi di kelas. Untuk anak yang mengalami ketunarunguan taraf inimemerlukan adanya alat bantu dengar (hearing aid), dan memerlukan pembinaan komunikasi, persepsi bunyi dan irama.

c.       Tunarungu berat, yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 71 – 90 dB. Seseorang yang mengalami ketunarunguan taraf berat, hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras. Siswa dengan kategori ini juga memerlukan  alat bantu dengar dalam mengikuti pendidikanya di sekolah. Siswa juga sangat memerlukanadanya pembinaan-pembinaan atau latihan-latihan komunikasi dan pengembangan bicaranya.

d.      Tunarungu sangat berat (profound), yaitu penyandang tunarungu yang mengalami tingkat ketulian 90 dB keatas.Pada taraf ini, mungkin seseorang sudah tidak dapat merespon suara sama sekali, tetapi mungkin masih bisa merespon melalui getaran-getaran yang ada. Untuk kegiatan pendidikan dan aktivitas lainnya, penyandang tunarungu kategori ini lebih mengandalkan kemampuan visual atau penglihatannya.

c)      Klasifikasi Anak Tunadaksa

Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan gerak dan kelumpuhan, yang sering disebut sebagai cerebral palsy (CP), dengan klasifikasi sebagai berikut  :

                                          1)            Menurut tingkat kelainannya, anak-anak tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Cerebral Palsy (CP) :

a.       Ringan, dapat berjalan tanpa alat bantu, mampu berbicara dan dapat menolong dirinya sendiri.

b.      Sedang, memerlukan bantuan untuk berjalan, latihan berbicara, dan mengurus dirinya sendiri.

c.       Berat, memerlukan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan menolong diri sendiri.

                                          2)            Berdasarkan letaknya:

a.       Spastic, kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya.

b.      Dyskenisia, gerakannya tak terkontrol (athetosis), serta terjadinya kekakuan pada seluruh tubuh yang sulit digerakkan (rigid).

c.       Ataxia, gangguan keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi, dan cara berjalannya gontai.

d.      Campuran, yang mengalami kelainan ganda.

                                          3)            Polio

a.       Tipe spinal, kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki.

b.      Tipe bulbair, kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi yang menyebabkan adanya gangguan pernafasan.

c.        Tipe bulbispinalis, gangguan antara tipe spinal dan bulbair.

d.      Encephalitis, yang umumnya ditandai dengan adanya demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.

2.      Anak Berkelainan Mental Emosional

a)      Klasifikasi Anak Tunagrahita

Untuk memahami klasifikasi anak tunagrahita maka perlu disesuaikan dengan klasifikasinya karena setiap kelompok tunagrahita memiliki klasifikasi yang berbeda-beda. Klasifikasi akademik tunagrahita berdasarkan barbagai tinjauan diantaranya :

1)      Berdasarkan kapasitas intelektual (skor IQ)

a.       Tunagrahita ringan IQ 50-70

b.      Tunagrahita sedang IQ 35-70

c.       Tunagrahita berat IQ 20-35

d.      Tunagrahita sangat berat memiliki IQ di bawah 20

2)      Berdasarkan kemampuan akademik

a.       Tunagrahita mampu didik

b.      Tunagrahita mampu latih

c.       Tunagrahita perlu rawat

3)      Berdasarkan tipe klini pada fisik

a.       Down’s Syndrone (mongolism

b.       Macro Cephalic (Hidro Cephalic)

c.       Micro Cephalic

Pengklasifikasian anak tunagrahita perlu dilakukan untuk memudahkan guru dalam menyusun program layanan/ pendidikan dan melaksanakannya secara tepat. Perlu diperhatikan bahwa perbedaan individu (individual deferences) pada anak tunagrahita bervariasi sangat besar, demikian juga dalam pengklasifikasi terdapat cara yang sangat bervariasi tergantung dasar pandang dalam pengelompokannya. Klasifikasi itu sebagai berikut:

1.      Klasifikasi yang berpandangan medis, dalam bidang ini memandang variasi anak tunagrahita dari keadaan tipe klinis. Tipe klinis pada tanda anatomic dan fisiologik yang mengalami patologik atau penyimpangan. Kelompok tipe klinis diantaranya :

a.      Down Syndrom (dahulu disebut mingoloid)

Pada tipe ini terlihat raut rupanya menyerupai orang Mongol dengan cirri : mata sipit dan miring, lidah tebal dan terbelah-belah serta biasanya menjulur keluar, telinga kecil, tangan kering, semakin dewasa kulitnya semakin kasar, pipi bulat, bibir tebal dan besar, tangan bulat dan lemah, kecil, tulang tengkorak dari muka hingga belakang tampak pendek.

b.      Kretin

Pada tipe kretin nampak seperti orang cebol dengan ciri: badan pendek, kaki tangan pendek, kulit kering, tebal, dan keriput, rambut kering, kuku pendek dan tebal.

c.       Hydrocephalus

Gejala yang nampak adalah semakin membesarnya Cranium (tengkorak kepala) yang disebabkan oleh semakin bertambahnya atau bertimbunnya cairan Cerebro-spinal pada kepala. Cairan ini member tekanan pada otak besar (cerebrum) yang menyebabkan kemunduran fungsi otak.

d.      Microcephalus, Macrocephalus, Brachicephalus, dan Schaphocephalus

Keempat istilah tersebut menunjukkan kelainan bentuk dan ukuran kepala, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

a.       Microcephalus : bentuk ukuran kepala yang kecil.

b.      Macrocephalus: bentuk ukuran kepala lebih besar dari ukuran normal.

c.       Brachicephalus: bentuk kepala yang melebar.

d.      Schaphocephalus: memiliki ukuran kepala yang panjang sehingga menyerupai menara.

e.       Cerebral Palsy (kelompok kelumpuhan pada otak)

Kelumpuhan pada otak mengganggu fungsi kecerdasan, disamping kemungkinan mengganggu pusat koordinasi gerak, sehingga kelainan cerebral palsy terdiri tunagrahita dan gangguan koordinasi gerak. Gangguan koordinasi gerak menjadi kajian dalam bidang penanganan tunagrahita.

f.        Rusak Otak (brain damage)

Kerusakan otak berpengaruh pada berbagai kemampuan yang dikendalikan oleh pusat susunan syaraf yang selanjutnya dapat terjadi gangguan kecerdasan, gangguan pengamatan, gangguan tingkah laku, gangguan perhatian, gangguan motorik.

2.      Klasifikasi yang berpandangan pendidikan, memandang variasi anak tunagrahita dalam kemampuannya mengikuti pendidikan. Kalangan American Education (Moh. Amin, 1995:21) mengelompokkan menjadi Educable mentally retarded, trainable mentally retarded and Totally / costudial dependent yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia : mampu didik, mampu latih, dan perlu rawat. Pengelompokan tersebut sebagai berikut :

a.       Mampu didik,anak ini setingkat mild, borderline, marginally dependent, moron, dan debil. IQ mereka berkisar 50/55-70/75.

b.      Mampu latih, setingkat dengan morderate, semi dependent, imbesil, dan memiliki tingkat kecerdasan IQ berkisar 20/25-50/55.

c.       Perlu rawat, mereka termasuk totally dependent or profoundly mentally retarded, severe, idiot, dan tingkat kecerdasannya 0/5-20/25.

3.      Klasifikasi yang berpandangan sosiologis, memandang variasi tunagrahita dalam kemampuannya mandiri di masyarakat, atau peran yang dapat dilakukannya dalam masyarakat. Menurut AAMD (Amin, 1995:22-24) klasifikasi itu sebagai berikut :

a.       Tunagrahita ringan, tingkat kecerdasan (IQ) mereka berkisar 50-70, dalam penyelesaian diri pada lingkungan social yang lebih luas dan mampu melakukan pekerjaan setingkat semi terampil.

b.      Tunagrahita sedang, tingkat kecerdasan (IQ) mereka berkisar antara 30-50, mampu melakukan keterampilan mengurus diri sendiri (self-help), mampu mengadakan adaptasi social dilingkungan terdekat, dan mampu mengerjakan pekerjaan yang rutin yang perlu pengawasan atau bekerja ditempat kerja terlindung (sheltered work shop).

c.       Tunagrahita berat dan sangat berat, mereka sepanjang hidupnya selalu tergantung bantuan dan perawatan orang lain. Ada yang masih mampu dilatih mengurus sendiri dan komunikasi secara sederhana dan dalam batas tertentu, mereka memiliki tingkat kecerdasan (IQ) kurang dari 30.

4.      Klasifikasi yang dikemukakan oleh Leo Kanner (Amin, 1995:22-24), dan ditinjau dari sudut tingkat pandangan masyarakat sebagai berikut :

a.       Tunagrahita absolute, termasuk kelompok tunagrahita yang jelas nampak ketunagrahitaannya baik berada di pedesaan maupun perkotaan, dimasyarakat petani, maupun masyarakat industry, di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan di tempat pekerjaan. Golongan ini penyandang tunagrahita kategori sedang.

b.      Tunagrahita relative, termasuk kelompok tunagrahita yang dalam masyarakat tertentu dianggap tunagrahita, tetapi di tempat masyarakat lain tidak dipandangtunagrahita. Anak tunagrahita dianggap demikian adalah anak tunagrahita ringan karena masyarakat perkotaan yang maju dianggap tunagrahita dan di masyarakat pedesaan yang masih terbelakang dipandang bukan tunagrahita.

c.       Tunagrahita semu (pseudo mentally retarded) yaitu anak tunagrahita yang menunjukkan penampilan sebagai penyandang tunagrahita tetapi sesungguhnya ia mempunyai kapasitas kemampuan yang normal. Misalnya seorang anak dikirim ke sekolah khusus karena menurut kasil tes kecerdasannya rendah, tetapi setelah mendapat pengejaran remedial dan bimbingan khusus menjadikan kemampuan belajar dan adaptasi sosialnya normal.

5.      Klasifikasi menurut kecerdasan (IQ), dikemukakan oleh Grosman (Hallahan & Kauffman, 1988:48) sebagai berikut :

                            TERM

            IQ RANGE FOR LEVEL

   Mild Mental Retardation

   Moderate Mental Retardation

    Severe Mental Retardation

    Profound Mental Retardation

               55-70 to Aprox, 70

               35-40 to 50-55

               20-25 to 35-40

              Bellow 20 or 25

b)      Klasifikasi Anak Tunalaras

Anak tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang normal, atau tidak berada dibawah rata-rata. Kelainan lebih banyak terjadi pada perilaku sosialnya.

Beberapa klasifikasi yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan perilaku sosial ini adalah :

1.      Berdasarkan perilakunya.

a.       Beresiko tinggi ; hiperaktif suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit berkonsentrasi, tidak mau bekerja sama, sok aksi, ingin menguasai orang lain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek, dan sebagainya.

b.      Beresiko rendah ; autism, khawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis, malu, dan sebagainya.

c.       Kurang dewasa ; suka berfantasi, berangan-angan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya.

d.      Agresif ; memiliki gang jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal terhadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah.

2.      Berdasarkan kepribadian

a.       Kekacauan perilaku.

b.      Menarik diri (withdrawll).

c.       Ketidakmatangan (immaturity).

d.      Agresi social

3.      Anak Berkelainan Akademik

a)      Klasifikasi Anak Berbakat

Anak berbakat dalam konteks ini adalah anak-anak yang mengalami kelainan intelektual di atas rata-rata. Berkenaan dengan kemampuan intelektual ini Cony Semiawan (1997:24) mengemukakan, bahwa diperkirakan satu persen dari populasi total penduduk Indonesia yang rentangan IQ sekitar 137 keatas, merupakan manusia berbakat tinggi (highly gifted), sedangkan mereka yang rentagannya berkisar 120-137 yaitu yaitu yang mencakup rentangan 10 persen di bawah yang satu persen itu disebut moderately gifted. Mereka semua memiliki talen akademik (academic talented) atau keberbakatan intelektual.

Beberapa kalsifikasi yang menonjol dari anak-anak berbakat umumnya hanya dilihat dari tigkat inteligensinya ,berdasarkan standar Stanford Binet, yang meliputi :

1.      Kategori  rata-rata tinggi, dengan tingkat kapasitas intelktual (IQ) : 110-119

2.      Kategori superior, dengan tingkat kapasitas intelektual (IQ) : 120-139

3.      Kategori sangat superior, dengan tingkat intelektual (IQ) : 140-169

a.       Kebutuhan Pendidikan Anak Berbakat

1.      Kebutuhan Pendidikan dari Segi Anak Berbakat itu Sendiri. Oleh karena potensi yang dimiliki anak berbakat sedemikian hebatnya jika dibandingkan dengan anak biasa maka untuk mengembangkan potensinya mereka membutuhkan hal-hal berikut ini :

a)      Anak berbakat membutuhkan peluang untuk mencapai aktualisasi potensinya melalui penggunaan fungsi otak yang efektif dan efisien.

b)      Membutuhkan peluang untuk dapat berinteraksi dengan anak-anak lainnya sehingga mereka tidak menjadimanusia yang memiliki superioritas intelektual saja tetapi merupakan manusia yang mempunyai tingkat penyesuaian yang tinggi pula.

c)      Membutuhkan peluang untuk mengembangkan kreativitas dan motivasi internal untuk belajar berprestasi karena usaha pengembangan anak berbakat tidak semata-mata hanya pada aspek kecerdasan saja.

2.      Kebutuhan pendidikan yang Berkaitan dengan Kepentingan Masyarakat.

Kehadiran anak berbakat dengan potensinya yang bermakna sangatlah merugikan jika potensi yang dimiliki anak tersebut tidak diakomodasi dan didorong untuk berkembang sehingga dapat berguna dalam pengembangan bangsa dan negara . Oleh karena itu ,pendidikan anak berbakat membutuhkan dukungan dari masyarakat, antara lain sebagai berikut :

a)      Membutuhkan kepedulian dari masyarakat terhadap pengembangan potensi anak berbakat.

b)      Membutuhkan pengembangan SDM berbakat.

c)      Anak berbakat membutuhkan keserasian antara kemampuannya dengan pengalaman belajar.

d)     Membutuhkan usaha untuk mewujudkan kemampuan anak berbakat secara nyata (real) melalui latiahan yang sesuai dengan segi keberbakatan anak berbakat itu sendiri.

Jenis-jenis Layanan Bagi Anak-anak Berbakat.

1.      Sebagai Persiapan Penentuan Jenis Layanan.

Sebelum mementukan jenis layanan pendidikan bagi anak berbakat, kita perlu memperhatikan beberapa hal yang penting antara lain sebagai berikut :

a)      Pengidentifikasian anak berbakat.

Karakteristik anak berbakat yang dikemukakan pada uraian sebelumnya diharapkan dapat memperlancar usaha penemuan dan penempatan anak berbakat. Hal tersebut sangat membantu dalam menetapkan kebutuahan pendidikan anak berbakat. Alat–alat yang digunakan dalam identifikasi berfokus pada bebrapa hal, seperti yang dikemukakan oleh Kirk (1986) yaitu kelncaran (kemampuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan), kelenturan ( kemapuan untuk memberikan berbagai macam jawaban atau beralih dari satu macam respons ke respons lain), dan kemurnian (kemampuan untuk memberikan respons yang unik dan layak).

Selanjutnya Renzulli, dkk seperti dikutip Conny Semiawan (1995) mengemukakan bahwa identifikasi anak berbakat harus mewakili kawasan-kawasan kemapuan intelektual umum, komitmen terhadap tugas dan kreativitas .

b)      Tujuan umum pendidikan anak berbakat.

Tujuan program pendidikan anak berbakat adalah:

1.      Anak-anak berbakat harus menguasai system konseptual yang penting ada pada tingkat kemampuan mereka dalam berbagai bidang mata pelajaran.

2.      Anak-anak berbakat harus mengembangkan keterampilan dan strategi yang memungkinkan mereka menjadi mandiri, kreatif, dan memenuhi kebutuhan dirinya.

3.      Anak-anak berbakat harus mengembangkan suatu kesenangan dan kegairahan tentang belajar yang akan membawa mereka melaui kerja keras dan kerutinan yang merupakan bagian proses yang tidak dapat dihindarkan (Samuel A. Kirk, 1986).

2.      Komponen sebagai alternatif implementasi jenis layanan.

Hal yang berkaitan dengan implementasi layanan pendidikan anak berbakat yaitu ciri khas layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak berbakat.

a)      Adaptasi lingkungan belajar.

Ada beberapa alasan dalam mengadaptasi lingkungan belajar yaitu:

1.      Untuk memberikan kesempatan anak berbakat dalam berinteraksi dengan teman seusianyadalam jangka waktu tertentu.

2.      Untuk memudahkan guru dalam mengajar karena berkurangnya keanekaragaman siswa.

3.      Untuk menempatkan siswa berbakat dengan pengajar yang mempunyai keahlian khusus dalam menangani anak berbakat.

b)      Adaptasi program.

Adaptasi program dilakukan dalam beberapa cara diantaranya sebagai berikut:

1.      Melalui percepatan/akselerasi siswa.

Stanley mengemukakan ada beberapa cara percepatan yaitu:

a.       Pemasukan sekolah pada usia dini.

b.      Pelompatan tingkat/kelas.

c.       Percepatan materi anak.

d.      Penempatan yang maju.

e.       Pemasukan ke perguruan tinggi yang lebih awal

2.      Melalui pengayaan.

Pengayaan isi (mata pelajaran) memberikan kesempatan pada siswa untuk memberikan materi pada siswa untuk mempelajari materi secara luas ,seperti menggunakan ilustrasi khusus, membuat contoh-contoh, memperkaya pandangan, dan menemukan sesuatu.

3.      Pencanggihan materi pelajaran.

Materi pelajaran harus menantang anak berbakat untuk menggunakan pemikiran atau yang tinggi agar mengerti ide, dan memiliki abstraksi yang tinggi.

4.      Pembaruhan.

Pembaruhan isi pelajaran adalah pengenalan materi yang tak biasanya tak akan muncul dalam kurikulum umum karena keterbatasan waktu atau abstraknya sifat isi pelajaran.

c)      Modifikasi kurikulum sebagai alternatif

1.      Kurikulum plus.

Herry Widyastono (1996) mengemukakan bahwa kurikulum plus dikembangkan dari kurikulum (nasional) yang diperluas dan diperdalam (pengayaan horizontal dan vertikal), agar siswa mampu memanisfetasikan potensi proses pemikiran tingat tinggi.

2.      Kurikulum berdiferensiasi.

Conny Setiawan (1995) mengemukakan bahwa kurikulum berdiferensiasi dirancang dengan mengacu pada penanjakan kehidupan mental melalui berbagai program yang akan menumbuhkan kreatifitas serta mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual tingkat tinggi.

4.      Klasifikasi Anak Berkesulitan belajar.

Berkesulitan belajar merupakan salah satu jenis anak berkebutuahan khusus yang ditandai dengan adanya kesulitan untuk mencapai standar kompetensi (prestasi) yang telah ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional. Learning disability merupakan salah satu istilah yang mewadahi berbagai jenis kesulitan yang dialami anak terutama yang berkaitan dengan masalah akademis.Adapun klasifikasi anak berkesulitan belajar spesifik yang merupakan jenis kelainan unik tidak ada kesamaan antara penderita satu dengan yang lainnya.Untuk mengklasifikasikan anak berkesulitan belajar spesifik dapat dilakukan berdasar pada tingkat usia dan juga jenis kesulitannya, yaitu:

a.       Kesulitan Belajar Perkembangan.

Pengelompokkan kesulitan belajar pada anak usia di bawah 5 tahun (balita) adalah kesulitan belajar perkembangan, hal ini dikarenakan anak balita belum belajar secara akademis, tetapi belajar dalam proses kematangan prasyarat akademis, seperti kematangan persepsi visual-audiotory, wicara, daya diferensiasi, kemampuan sensory-motor dsb.

b.      Kesulitan Belajar Akademik.

Anak-anak usia sekolah yaitu usia di atas 6 tahun masuk dalam kelompok kesulitan belajar akademik anak-anak ini mengalami kesulitan bidang akademik di sekolah yang sangat spesifik yaitu kesulitan dalam satu jenis/bidang akademik seperti berhitung/matematika (diskalkulia), kesulitan membaca (disleksia), kesulitan menulis (disgraphia), kesulitan bebahasa (dysphasia), kesulitan tidak terampil (dispraksia), dsb.

Ada klasifikasi lain yang berdasarkan jenis gangguan atau kesulitan yang dialami anak yaitu:

a.       Dispraksia: merupakan gangguan pada keterampilan motorik, anak terlihat kurang terampil dalam melakukan aktivitas motorik. Seperti sering menjatuhkan benda yang di pegang, sering memecahkan gelas kalau minum.

b.      Disgraphia: kesulitan dalam menulis ada yang memang karena gangguan pada motoris sehingga tulisannya sulit untuk dibaca orang lain, ada yang sangat lambat aktivitas motoriknya, dan juga adanya hambatan pada ideo motorik sehingga sering salah atau tidak sesuai apa yang dikatakan dengan yang ditulis.

c.       Diskalkulia: adalah kesulitan dalam berhitung dan matematika hal ini sering dikarenakan adanya gangguan pada memori dan logika.

d.      Disleksia: merupakan kesulitan membaca baik membaca permulaan maupun pemahaman.

e.       Disphasia: kesulitan berbahasa dimana anak sering melakukan kesalahan dalam berkomunikasi baik menggunakan tulisan maupun lisan.

f.       Body awareness: Anak tidak memiliki akan kesadaran tubuh sering salah prediksi pada aktivitas gerak mobilitas seperti sering menabrak bila berjalan.

C.    Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

1.      Tunanetra
Definisi tunanetra adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan.
Karakterisitiknya:

a.       Dari segi fisik Nampak sekali kelainan pada organ penglihatan yang secara nyata dapat dibedakan dengan  anak pada umumnya.

b.      Dalam segi motorik hilangnya indra penglihatan tidak berpengaruh secara langsung hanya anak penderita tunanetra ini kurang mampu melakukan orientasi lingkungan.

c.       Anak tunanetra sering menunjukan perilaku stereotip.

d.      Dalam bidang akademik anak tunanetra membutuhkan bantuan lebih dalam hal membaca dan menulis.

e.       Anak tunanetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku social yang benar.

2.      Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.

a.       Karakteristik dari segi fisik :

1)      Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk.

2)      Pernapasannya pendek dan sering tidak teratur.

3)      Cara melihatnya beringas.

b.      Dari segi bahasa:

1)      Miskin kosakata.

2)      Sulit mengartikan kata-kata yang mengandng ungkapan.

3)      Tata bahasanya kurang teratur.

c.       Dari segi intelektual :

1)      Kemampuan intelektualnya normal.

2)      Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa.

d.      Dari segi social-emosional:

1)      Sering merasa curiga.

2)      Sering bersikap agresif.

3.      Tunadaksa
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan.
Berikut identifikasi anak yang mengalami kelainan anggota tubuh tubuh/gerak tubuh:

a.       Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh.

b.      Kesulitan dalam gerakan.

c.       Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna.

d.      Terdapat cacat pada alat gerak.

e.       Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam.

f.       Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk dan menunjukan sikap tubuh tidak normal.

g.      Hiperaktif.

h.      Nilai standardnya 5.

4.      Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan, klasifikasi tunagrahita didasarkan pada tingkat IQ.
Karakteristik anak menderita tunagrahita yaitu sebagai berikut :

a.       Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar.

b.      Perkembangan bahasa terlambat.

c.       Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong).

d.      Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali).

e.       Sering keluar ludah (cairan) dari mulut.

5.      Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Penderita tunalaras sering sekali menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang ada
. Karakteristiknya :

a.       Bersikap membangkang.

b.      Mudah terangsang emosinya.

c.       Sering melakukan tindakan agresif.

d.      Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.

6.      Kesulitan Belajar

Anak dengan kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis. Anak ini memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata.
Karakteristik anak kesulitan belajar membaca (disleksia) yaitu sebagai berikut :

a.       Perkembangan kemampuan membaca terlambat.

b.      Kemampuan memahami isi bacaan rendah.

c.       Kalau membaca sering banyak kesalahan

Karakteristik anak kesulitan belajar menulis (disgrafia) yaitu sebagai berikut :

a.       Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai.

b.      Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9 dsb.

c.       Tulisannya banyak salah.

d.      Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.

Karakteristik anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkula) :

a.       Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =

b.      Sulit mengoperasikan hitungan.

c.       Sering salah membilang dengan urut.

d.      Sering salah membedakan angka 9 dengan 6, 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8

7.      Anak berbakat
Definisi anak berbakat adalah anak yang mempunyai IQ 140 atau lebih, kreativitas tinggi, mempunyai kemampuan memimpin dan kemampuan dalam seni drama, seni tari dan seni rupa.Karakteristik anak berbakat :

a.       Membaca pada usia lebih muda.

b.      Membaca lebih cepat dan lebih banyak.

c.       Memiliki perbendaharaan kata yang  luas.

d.      Mempunyai rasa ingin tau yang kuat.

e.       Mempunyai minat yang luas.

f.       Mempunyai inisiatif dan dapat bekerja sendiri.

g.      Menunjukan keaslian dalam ungkapan verbal.

h.      Member jawaban-jawaban yang baik.

i.        Dapat memberikan banyak gagasan.

j.        Luwes dalam berpikir.

k.      Terbuka terhadap rangsangan dari lingkungan.

l.        Berpikir kritis.

m.    Senang mencoba hal baru.

n.      Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah.

o.      Cepat menangkap hubungan sebabakibat.

p.      Berperilaku terarah pada tujuan.

q.      Mempunyai daya imajinasi yang kuat.

r.        Mempunyai banyak kegemaran.

s.       Mempunyai daya ingat yang kuat.

t.        Tidak cepat puas dengan prestasinya

D.    Pendidikan Inklusi

Pendidikan Inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.

Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.

Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah inklusi merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa merasa terganggu sedikitpun.

Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusinya pun konon telah dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah :

1.      Sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan inklusi bagi kelompok difabel?

2.      Bagaimanakah kurikulum yang dipakai dalam pendidikan inklusi?

Gagagasan pendidikan inklusi

Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab.

Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.


Landasan Spiritual

1.      Surat An Nisa ayat 9

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

2.      Surat Az Zuhruf ayat 32

“Allah telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat saling mengambil manfaat (membutuhkan)”.

Landasan Yuridis

1.      Konvensi PBB tentang Hak anak tahun 1989.

2.      Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990.

3.      Kesepakatan Salamanka tentang Pendidikan inklusi tahun 1994.

4.      UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.

5.      UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.

6.      PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.

7.      Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi tahun 2004.

Kalau kita cermati lebih teliti, landasan spiritual maupun landasan yuridis tersebut telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang bagaiman penyelenggaraan pendidikan inklusi yang memang merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Implementasi Di Lapangan

Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).

Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.

Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.

Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.

Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.

PENGEMBANGAN KURIKULUM

a.       Lingkup Pengembangan Kurikulum

Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah regular (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:

1)      Alokasi waktu.

2)      Isi/materi kurikulum.

3)      Proses belajar-mengajar.

4)      Sarana prasarana.

5)      Lingkungan belajar.

6)      Pengelolaan kelas.

b.      Pengembang Kurikulum

Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.

c.       Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:

1.      Modifikasi alokasi waktu.

Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.

a)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.

b)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam.

c)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.

2.      Modifikasi isi/materi

a)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.

b)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.

c)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.

3.      Modifikasi proses belajar-mengajar

a)      Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal.

b)      Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak.

c)      Lebih terbuka (divergent).

d)     Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.

e)      Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”!

Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harsmonis.

Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).

a.       Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.

b.      Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.

c.       Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.

 

 

 

1 komentar