This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

Emosi

 

A.    Pengertian emosi

Secara etimologis emosi berasal dari kata Prancis emotion, yang berasal lagi dari emouvoir, ‘exicte’ yang berdasarkan kata Latin emovere, artinya keluar. Dengan demikian secara etimologis emosi berati “bergerak keluar”.

Emosi adalah suatu konsep yang sangat majemuk sehingga tidak dapat satu pun definisi yang diterima secara universal. Emosi sebagai reaksi penilaian(positif atau negatif) yang kompleks dari sistem saraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam diri sendiri.

1.      Pendapat tokoh tentang pengertian emosi.

a.       Diungkap Prezz (1999) seorang EQ organizational consultant dan pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan, secara tegas mengatakan emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik.

b.      Hathersall (1985) merumuskan pengertian emosi sebagai suatu psikologis yang merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Misalnya seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah seram, dan postur tubuh menegang, bertingkah laku menendang atau menyerang, serta jantung berdenyut cepat.

c.       Keleinginna and Keleinginan (1981) berpendapat bahwa emosi seringkali berhubungan dengan tujuan tingkah laku. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah, takut bahagia, sedih dan jijik.

d.      William James (dalam DR. Nyayu Khodijah) mendefinisikan emosi sebagai keadaan budi rohani yang menampakkan dirinya dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh.

2.      Perasaan dan emosi

Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan. Menurut Nana Syaodih Sukadinata (2005), perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika perasaan marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak terkendali maka perasaan marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Orang merasa sedih karena ditinggal kekasihnya, tetapi jika kesedihannya diekspresikan secara berlebihan, misalnya dengan selalu diratapi dan bermuram durja, maka rasa sedih itu sebagai bentuk emosinya.

Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling negatif, seperti: senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing).

Karena sifatnya yang dinamis, bisa dipelajari dan lebih mudah diamati, maka para ahli dan peneliti psikologi cenderung lebih tertarik untuk mengkaji tentang emosi daripada unsur-unsur perasaan. Daniel Goleman salah seorang ahli psikologi yang banyak menggeluti tentang emosi yang kemudian melahirkan konsep Kecerdasan Emosi, yang merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain.

3.      Unsur-unsur perasaan.

a.       Besifat subyektif daripada gejala mengenal.

b.      Bersangkut paut dengan gejala mengenal.

c.       Perasaan dialami sebagai rasa senang atau tidak senang yang tingkatannya tidak sama.

Perasaan lebih erat hubungannya denga pribadi seseorang dan berhubungan pula dengan gejala-gejala jiwa yang lain. Oleh sebab itu tanggapan perasaan seseorang terhadap sesuatu tidak sama dengan tanggapan perasaan orang lain terhadap hal yang sama. Karena adanya sifat subyektif pada perasaan inilah maka gejala perasaan tidak dapat disamakan dengan gejaja mengenal berfikir dan lain sebagainya.

4.      Macam-macam emosi.

Menurut Syamsu Yusuf (2003) emosi individu dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu:

a.       Emosi sensoris.

Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh,  seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan  lapar.

b.      Emosi psikis.

Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti : perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok.

1)      Perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral).

2)      Perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian.

3)      Perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious).

5.      Teori-Teori Emosi

a.       Teori James-Lange

Emosi yang dirasakan adalah persepsi tentang perubahan tubuh. Salah satu dari teori paling awal dalam emosi dengan ringkas dinyatakan oleh Psikolog Amerika William James: “Kita merasa sedih karena kita menangis, marah karena kita menyerang, takut mereka gemetar”.Teori ini dinyatakan di akhir abad ke-19 oleh James dan psikolog Eropa yaitu Carl Lange, yang membelokkan gagasan umum tentang emosi dari dalam ke luar. Di usulkan serangkaian kejadian disaat kita emosi : Kita menerima situasi yang akan menghasilkan emosi. Kita bereaksi  ke situasi tersebut,Kita memperhatikan reaksi kita. Persepsi kita terhadap reaksi itu adalah dasar untuk emosi yang kita alami. Sehingga pengalaman emosi-emosi yang dirasakan terjadi setelah perubahan tubuh, perubahan tubuh (perubahan internal dalam sistem syaraf otomatis atau gerakan dari tubuh memunculkan pengalaman emosi. Agar teori ini berfungsi, harus ada suatu perbedaan antara perubahan internal dan eksternal tubuh untuk setiap emosi, dan individu harus dapat menerima mereka. Di samping ada bukti perbedaan pola respon tubuh dalam emosi tertentu, khususnya dalam emosi yang lebih halus dan kurang intens, persepsi kita terhadap perubahan internal tidak terlalu teliti.

b.      Teori Cannon-Bard

Emosi yang dirasakan dan respon tubuh adalah kejadian yang berdiri sendiri-sendiri. Di tahun I920-an, teori lain tentang hubungan antara keadaan tubuh dan emosi yang dirasakan diajukan oleh Walter Cannon, berdasarkan pendekatan pada riset emosi yang dilakukan oleh Philip Bard. Teori Cannon-Bard menyatakan bahwa emosi yang dirasakan dan reaksi tubuh dalam emosi tidak tergantung satu sarna lain, keduanya dicetuskan secara bergantian. Menurut teori ini, kita pertama kali menerima emosi potensial yang dihasilkan dari dunia luar; kemudian daerah otak yang lebih rendah, seperti hipothalamus diaktifkan. Otak yang lebih rendah ini kemudian mengirim output dalam dua arah: (1) ke organ-organ tubuh dalam dan otot-otot eksternal untuk menghasilkan ekspresi emosi tubuh, (2) ke korteks cerebral, dimana pola buangan dari daerah otak lebih rendah diterima sebagai emosi yang dirasakan. Kebalikan dengan teori James-Lange, teori ini menyatakan bahwa reaksi tubuh dan emosi yang dirasakan berdiri sendiri-sendiri dalam arti reaksi tubuh tidak berdasarkan pada emosi yang dirasakan karena meskipun kita tahu bahwa hipothalamus dan daerah otak di bagian lebih bawah terlibat dalam ekspresi emosi, tetapi kita tetap masih tidak yakin apakah persepsi tentang kegiatan otak lebih bawah ini adalah dasar dari emosi yang dirasakan.

c.       Teori Kognitif tentang Emosi

Teori ini memandang bahwa emosi merupakan interpretasi kognitif dari rangsangan emosional (baik dari luar atau dalam tubuh). Teori ini dikembangkan oleh Magda Arnold (1960), Albert Ellis (1962), dan Stanley Schachter dan Jerome Singer (1962). Berdasarkan teori ini, proses interpretasi kognitif dalam emosi terbagi dalam dua langkah: 1. Interpretasi stimuli dari lingkungan. Interpretasi pada stimulus, bukan stimulus itu sendiri, menyebabkan reaksi emosional. Contohnya, jika suatu hari kamu menerima kado dari Wini dimana Wini adalah musuh besarmu, maka kamu akan merasa takut atau bisa mengganggap bahwa kado tersebut berbahaya. Tetapi akan berbeda ceritanya bila Wini adalah seorang teman karibmu, maka kamu akan dengan senang hati menerima dan membuka kado tersebut tanpa curiga. Jadi dalam teori kognitifpada emosi, informasi dari stimulus berangkat pertama kali ke cerebral cortex, dimana akan diinterpretasi pada pengalaman masa kini dan lamapau. Lalu pesan tersebut dikirim ke limbyc system dan sistem saraf otonom yang kemudian akan menghasilkan arousl secara fisiologis. Interpretasi stimuli dari tubuh yang dihasilkan dari arousal saraf otonom Langkah kedua dalam teori kognitif pada emosi yaitu interpretasi stimulus dari dalam tubuh yang merupakan hasil dari arousal otonom. Teori kognitif menyerupai teori James-Lange teori menekankan pentingnya stimuli internal tubuh dalam mengalami emosi, tetapi sebenarnya itu berlanjut ke interpretasi kognitif dari stimuli, dimana hal tersebut lebih penting dari pada stimuli internal itu sendiri.

6.      Kecerdasan emosi

Suatu terobosan teori tentang emosi dikemukakan oleh Daniel Goleman dalam bukunya The Emotional Intelligence. Golemen melanjutkan penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah berlangsung sejak 1970-1980-an termasuk yang dilakukan oleh Howard Gardener(tentang multiple intelegence), Peter Salovey, dan Jhon Mayer.Dalam bukunya, Golemen menyatakan tiga hal yang sangat penting sehingga teorinya bisa dianggap sebagai terobosan. Yang pertama, emosi itu bukan bakat, melainkan bisa dibuat dilatih dan dikembangkan, dipertahankan dan yang kurang baik dikurangi atau dibuang sama sekali. Kedua, emosi itu bisa diukur seperti intelegensi. Hasil pengukurannya disebut EQ (emotional Quotient). Dengan demikian, kita tetap dapat memonitor kondisi kecerdasan emosi kita. Ketiga, dan ini yang terpenting, EQ memegang peranan lebih penting daripada IQ. Sudah terbukti banyak rang dengan IQ tinggi, yang di masa lalu dunia psikologi dianggap sebagai jaminan keberhasilan seseorang, justru mengalami kegagalan. Mereka kalah daarai orang-orang dengan IQ rata-rata saja, tetapi memiliki EQ yang tinggi. Menurut Goleman, sumbangan IQ dalam menentukan keberhasilan seseorang hana sekitar 20-30% saja, selebihnya ditentukan oleh EQ yang tinggi.

Adapun orang yang dikatakan mempunyai EQ yang tinggi adalah jika ia memenuhi kriteria berikut, yaitu sebagai berikut:

a.       Mampu mengenali emosinya sendiri.

b.      Mampu mengendalikan emosinya dengan situasi dan kondisi.

c.       Mampu menggunakan emosinya untuk meningktakan motivasinya sendiri(bukan malah membuat diri putus asa atau bersikap negatif pada orang lain).

d.      Mampu berinteraksi positif dengan orang lain.

7.      Pengaruh Emosi pada belajar

Emosi berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas belajar (Meier dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006). Emosi yang positif dapat mempercepat proses belajar dan mencapai hasil belajar yang lebih baik, sebaliknya emosi yang negatif dapat memperlambat belajar atau bahkan menghentikannya sama sekali. Oleh karena itu, pembelajaran yang berhasil haruslah dimulai dengan menciptakan emosi positif pada diri pembelajar. Untuk menciptakan emosi positif pada diri siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan dengan penciptaan kegembiraan belajar. Menurut Meier, 2002 (dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006) kegembiraan belajar seringkali merupakan penentu utama kualitas dan kuantitas belajar yang dapat terjadi. Kegembiraan bukan berarti menciptakan suasana kelas yang ribut dan penuh hura-hura. Akan tetapi, kegembiraan berarti bangkitnya pemahaman dan nilai yang membahagiakan pada diri si pembelajar. Selain itu, dapat juga dilakukan pengembangan kecerdasan emosi pada siswa. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya secara sehat terutama dalam berhubungan dengan orang lain.

8.      Pertumbuhan emosi

Pertumbuhan dan perkembangan emosi seperti juga pada tingkah laku lainnya ditentukan oleh pematangan dan proses belajar seorang bayi yang baru lahir dapat menangis tetapi ia harus mencapai ringkas kematangan tertentu untuk dapat tertawa setelah anak itu sudah besar maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa digunakan untuk maksud-maksud tertentu atau untuk situasi tertentu. Makin besar anak itu makin besar  pula kemampuannya untuk belajar sehingga perkembangan emosinya makin rumit. Perkembangan emosi melalui proses kematangan hanya terjadi sampai usia satu tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh proses belajar.

9.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kematangan emosi seseorang (Astuti, 2000, Faktor-faktor yang mempengaruhi Kematangan Emosi, para. 1), antara lain:

a.       Pola asuh orang tua

Pola asuh orang tua sangat bervariasi. Ada pola asuh yang otoriter, memanjakan, acuh tak acuh dan  ada juga yang penuh dengan cinta kasih.Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat belajar dan menyatakan dirinya sebagai makhluk sosial, karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama tempat anak dapat berinteraksi. Dari pengalaman berinteraksi dalam keluarga ini akan menentukan pula pola perilaku anak.

b.      Pengalaman traumatic

Kejadian-kejadian traumatis dapat bersumber dari lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar keluarga. Kejadian masa lalu yang memberikan kesannya traumatis akan mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Akibatnya rasa takut dan juga sikap terlalu waspada terhadap lingkungan seumur hidupnya.

c.       Temperamen

Temperamen dapat didefinisikan sebagai suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional seseorang. Pada tahap tertentu masing-masing individu memiliki kisaran emosi sendiri-sendiri, dimana temperamen merupakan bawaan sejak lahir, dan merupakan bagian dari genetik yang mempunyai kekuatan hebat dalam rentang kehidupan manusia.

d.      Jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin memiliki pengaruh yang berkaitan dengan adanya perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan, peran jenis maupun tuntutan sosial yang berpengaruh terhadap adanya perbedaan karakteristik emosi diantara keduanya.

e.       Usia

Perkembangan kematangan emosi yang dimiliki seseorang sejalan dengan pertambahan usia, hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang.

f.       Perubahan Jasmani

Perubahan Jasmani yaitu perubahan hormon-hormon yang mulai berfungsi sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing, misalnya perubahan kulit wajah yang awalnya bersih menjadi jerawatan.

g.      Perubahan Interaksi dengan Teman sebaya

Di usia remaja, anak didik kebanyakan membentuk sebuah perkumpulan yang biasa disebut Genk. Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi ialah faktor hubungan cinta dengan teman lawan jenis.

h.      Perubahan Pandangan Luar

i.        Perubahan Pandangan Luar dapat menimbulkan konflik dalam emosi seseorang, contoh :

1.      Tidak konsistennya sikap dunia luar terhadap pribadi anak.

2.      Membeda-bedakan wanita dan pria.

3.      Dunia luar memanfaatkan kondisi ketidaklabilan seseorang untuk pengaruh yang negative.

j.        Perubahan Interaksi dengan Sekolah

Sering kali seorang anak lebih percaya, lebih patuh, lebih takut kepada guru daripada kepada orangtuanya.

Kematangan emosi seseorang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik intern (dari dalam diri sendiri) maupun faktor ekstern (dari luar diri sendiri), yaitu antara lain adalah:

1.      Adanya penyesuaian diri yang baik, kemampuan untuk berfungsi sebagai manusia yang dapat bergantung pada diri sendiri, harus dikembangkan secara bertahap dan terus menerus seiring dengan bertambahnya umur serta kedewasaannya. Setiap pribadi dalam kehidupannya selalu mengalami perubahan secara terus menerus oleh karena itu diperlukan adanya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada disekitarnya.

2.      Suasana lingkungan sosial, lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat sekitar yang berhubungan dengan proses-proses sosialisasi yang dapat membentuk seseorang menjadi pribadi yang matang.

Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi individu dalam mengekspresikan emosinya dalam perilaku keseharian.

Jenis emosi yang telah disepakati oleh para ahli sebagai emosi dasar adalah: emosi senang/bahagia ( joy, الابتهاج   ), marah (anger, الغضب), sedih (sadness, الحزن), takut (fear, الخوف), benci/jijik ( disgust, الاشمئزاز ), dan heran/kaget (surprise, المفاجأة  ) . Para ahli menyimpulkan bahwa keenam emosi ini yang diidentifikasi dirasakan oleh semua manusia di dunia. Emosi-emosi dasar tersebut adakalanya bercampur antara satu dan yang lain, misalnya antara marah dan benci, heran dan takut, benci dan rindu, dan sebagainya. Percampuran itu bisa terjadi sangat variatif sehingga sulit dipilah dan diberi nama, persis percampuran tiga warna dasar (magenta, biru, kuning) yang memungkinkan terciptanya nuansa warna tak berhingga.

Keterbangkitan emosi ditandai oleh adanya perubahan faali (fisiologis) dan terekspresikan dalam bentuk sikap atau tingkah laku. Perubahan faali di saat emosi oleh al-Qur’ân diindikasikan antara lain dalam bentuk degup jantung (‘wajilat qulūbuhum’ – Q.S. al-Anfâl [8]: 2, Q.S. al-Hajj [22]: 35), GSR (galvanic skin response) atau reaksi kulit (‘taqsya‘irru minhu julûd’ – Q.S. al-Zumar [39]: 23), reaksi pupil mata (‘tasykhashu fîh al-abshâr’ – Q.S. Ibrâhîm [14]: 42; Q.S. al-Anbiyâ’ [21]: 97), reaksi perna­pasan (‘shadrahû dhayyiqan’ – Q.S. al-An‘âm [6]: 125, Q.S. al-Hijr [15]: 97, Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 13 atau ungkapan seperti ‘balaghat al-qulûb al-hanâjir’ – Q.S. al-Ahzâb [33]: 10). Sedangkan ekspresi yang dapat disaksikan antara lain wajah berseri-seri bahagia (‘wujûhun yawma’idzin musfirah, dhâhikah mustabsyirah’ – ‘Abasa [80]: 38-39), wajah hitam pekat atau merah padam (‘wajhuhû mus­waddâ’ – Q.S. al-Nahl [16]: 58; Q.S. al-Zumar [39]: 60; Q.S. al-Zukhruf [43]: 17), pandangan tidak konsentrasi (‘zâghat al-abshâr’ – Q.S. al-Ahzâb [33]: 10; Shâd [38]: 63; Q.S. al-Najm [53]: 17), menutup telinga karena ketakutan (‘yaj’alûna ashâbi‘a-hum fî âdzâni-him min al-shawâ‘iq hadzara al-mawt’ – Q.S. al-Baqarah [2]: 19), menggigit ujung jemari (‘adhdhû ‘alaykum al-anâmila min al-ghayzh’ – Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 119), reaksi kinestetis dengan membolak-balik telapak tangan karena kesal (‘yuqallibu kaffayh’ – Q.S. al-Kahf [18]: 42).

Ekspresi wajah merupakan ekspresi paling umum terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa emosi. Gambaran al-Qur’ân tentang ekspresi wajah yang berseri-seri atau muram berdebu (Q.S. ‘Abasa [80]: 38-40) atau ekspresi bagian-bagian dari wajah boleh jadi karena wajah adalah cerminan jiwa manusia yang bersifat universal dan lintas kultural, dikenali oleh berbagai etnis di dunia dengan pola-pola yang sama. Ia bersifat bawaan (heredity) karena ternyata bayi yang terlahir buta tuli sekalipun mampu melakukannya, meskipun kemudian diperkaya oleh berbagai pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Menurut Davidoff (1987:327): “We saw that people everywhere communicate basic emotions with the same facial expressions and find it easy to identify basic emotions from facial expressions. We described how young babies, including those born blind and deaf, use these same expressions to communicate their feelings. The universality of basic facial expressions suggests that they are programmed into human beings by heredity.” (Kita menyaksikan bahwa manusia di bagian dunia manapun mengomunikasikan emosi dasar dengan ekspresi wajah yang sama, dan kita pun mendapatkan bahwa suatu hal yang mudah untuk mengenali emosi dasar melalui ekspresi wajah. Kita menggambarkan bagaimana seorang bayi, termasuk mereka yang dilahirkan dalam keadaan buta dan tuli, menggunakan ekspresi yang sama ini untuk mengomunikasikan perasaan mereka. Universalitas ekspresi wajah dasar ini mengisyaratkan bahwa hal itu diprogramkan ke dalam diri manusia secara turun-temurun).

Emosi Dasar dalam al-Qur’ân

Kosakata yang berdenotasi emosi tidak dijumpai secara spesifik di dalam al-Qur’ân, tetapi bertebaran ayat yang berbicara atau berkaitan dengan perilaku emosi yang ditampilkan manusia dalam berbagai peristiwa kehidupan. Ungkapan al-Qur’ân tentang emosi digambarkan langsung bersama peristiwa yang sedang terjadi. Berbagai peristiwa emosional dijelaskan oleh al-Qur’ân meskipun topik utamanya (main topic) bukan masalah emosi. Emosi yang muncul pada umumnya merupakan gambaran selintas terkait dengan main topic yang sedang dijelaskan atau diceritakan, sehingga mufasir pun kadang-kadang tidak tertarik untuk menjelaskan secara rinci hal itu.

Berikut ini akan dijelaskan emosi-emosi dasar yang diisyaratkan oleh al-Qur’ân dalam kaitannya dengan sejarah peradaban umat manusia di masa lampau, sikap dan perilaku mereka yang terus berlangsung, serta gambaran emosi manusia dalam kehidupan di akhirat, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (tak dikehendaki).

1.      Emosi Senang

Emosi senang umumnya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang membuat kepuasan dalam hidup. “We define happiness as overall satisfaction with life”. Perasaan senang (cinta, gembira, puas, bahagia) adalah kondisi-kondisi yang senantiasa didambakan oleh setiap individu apa pun latar belakangnya. Hal yang mungkin berbeda adalah persepsi terhadap sesuatu yang dapat membuat orang senang. Sebagian menjadikan ukuran kesenangan itu pada harta yang melimpah, kesehatan yang prima, jabatan yang bergengsi, atau keluarga yang rukun dan sejahtera, sementara yang lain pada hal-hal di luar itu. Oleh karena itu, objek yang dapat membuat orang senang atau bahagia tidak bisa diukur sama untuk semua individu. Namun, secara umum al-Qur’ân menyatakan bahwa manusia memi­liki predisposisi senang kepada wanita (lawan jenis), anak cucu, harta yang melimpah, kendaraan mewah, dan kekayaan lainnya (Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 14). Ekspresi emosi senang dijumpai dalam beberapa ayat al-Qur’ân yang dengan jelas mengung­kapkan terjadinya perubahan-perubahan pada wajah menjadi berseri-seri yang dapat diamati oleh orang lain yang menyaksikannya. Ayat-ayat al-Qur’ân tersebut misalnya Q.S. al-Insân [76]: 11; ‘Abasa [80]: 38-39; al-Muthaffifîn [83]: 22-24; al-Insyiqâq [84]: 7-9. Q.S. ‘Abasa [80]: 38-39:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ () ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ ()

“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria.” (Q.S. ‘Abasa [80]: 38-39)

Menurut al-Thabarî (1405 H), kata musfirah dalam ayat tersebut berasal dari asfar, yaitu ungkapan dalam bahasa Arab untuk menyebut wajah yang cantik (bersinar). Cahaya subuh juga disebut asfar ketika mulai bersinar, bahkan setiap yang bersinar dikatakan musfir. Wajah yang musfirah adalah wajah berseri-seri yang memancarkan sinar kegembiraan karena mendapatkan suatu kenikmatan.

Ungkapan emosi senang di dalam al-Qur’ân sangat beragam. Senang meraih kenikmatan dan terhindar dari kesulitan misalnya dijumpai dalam Q.S. Hûd [11]: 10; al-Rûm [30]: 36; al-Syûrâ [42]: 48; Âlu ‘Imrân [3]: 170; Yûnus [10]: 58; Yûsuf [12]: 33-34. Senang terhadap lawan jenis (Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 14; al-Rûm [30]: 21; Yûsuf [12]: 30-32), senang terhadap harta (al-Fajr [89]: 20; al-‘Âdiyât [100]: 8; al-Kahf [18]: 34; al-Ra‘d [13]: 26), senang memberi atau menerima (al-Hasyr [59]: 9; al-Naml [27]: 36; al-Tawbah [9]: 58-59; al-Insân [76]: 8-9; al-Nisâ’ [4]: 4). Sementara senang terhadap hasil usaha (prestasi) dapat dilihat misalnya dalam Q.S. al-Rûm [30]: 2-4; al-An‘âm [6]: 135; Âlu ‘Imrân [3]: 188; Ghâfir [40]: 83. Ada pula bentuk kesenangan yang menyimpang dari fitrah kemanusiaan, yaitu jika seseorang senang terhadap kesulitan orang lain (Âli ‘Imrân [3]: 120; al-Tawbah [9]: 50). Jenis yang terakhir ini tentu harus dihindari karena bertentangan dengan ajaran agama.

Kata fariha (gembira, senang) yang disebutkan dalam beberapa ayat di atas merupakan gambaran suasana hati ketika dapat merasakan kepuasan begitu men­dapat­kan apa yang diinginkan. Demikian pendapat al-Baghawî (1407 H) yang menyata­kan: “الفَرَحُ: لَذَّةٌ فِى القَلْبِ بِنَيْلِ المُشْتَهَى”. Objek yang menimbulkan emosi senang bersifat sangat personal. Nabi Yusuf sangat senang ketika doanya terkabul untuk masuk penjara sebagai usaha menghindari godaan para wanita yang tertarik padanya (Q.S. Yûsuf [12]: 33-34).

Sedangkan Q.S. al-Hasyr [59]: 9 turun dalam kasus Abu Thalhah (yang lain menyebut Tsâbit ibn Qays, atau Abû Nashr Abd al-Rahîm) yang begitu berempati kepada tamunya ‘pengungsi’ dari kaum Muhajirin. Ia sendiri kesulitan dalam hidupnya tetapi masih tetap mengutamakan tamunya meski harus memberikan makanan yang tadinya untuk anak balitanya. Walaupun ayat ini turun untuk apresiasi terhadap emosi senang yang ditunjukkan seorang Ansar kepada Muhajirin, namun kondisi itu merata pada hampir semua kaum Anshar. Faktor senang membantu tamu-tamu itu merupakan gejala umum di masyarakat Madinah. Mereka memberi apa yang dibutuhkan oleh tamu-tamunya meskipun sebenarnya mereka juga butuh, termasuk mereka yang memiliki istri lebih dari satu dengan rela diberikan kepada tamu-tamu Muhajirin.

Hal yang kontras terjadi adalah apa yang dijelaskan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 58-59. Ayat ini turun pada kasus Ibn Dzu al-Khuway­sharah al-Tamimi (atau pada Abu al-Jawaz, atau Abu al-Jawth–ada yang menyebutnya, munafik), ia memprotes keadilan Rasulullah ketika mem­bagi sedekah dan harta rampasan perang (ghanîmah, al-fay’) karena ia tidak mendapat bagian. Orang-orang munafik ketika mendapat bagian mereka meluapkan kesenangan, tetapi ketika tidak, serta-merta mereka menggerutu dan marah. Atau, ketika mendapat banyak amat senang, tapi ketika sedikit mereka jengkel.

Q.S. al-Rûm [30]: 2-4 menggambarkan kekalahan dan kemenangan dua kekuatan imperium di abad VII, Romawi Timur dan Persia (yang mendapat simpati dari kaum musyrik Mekah). Kemenangan terhadap lawan (tanding) merupakan prestasi. Sebuah prestasi, apakah diukir sendiri atau oleh orang yang mendapat simpati dan dukungan kita, membawa kepuasan tersendiri. Semakin susah prestasi itu diperoleh, semakin tinggi pula nilai kepuasannya. Menurut McClelland pada diri manusia terdapat kebutuhan untuk berprestasi yang dikenal dengan istilah n-Ach (need for achievement).

Senyampang dengan itu, al-Qur’ân melarang manusia melampiaskan emosi senangnya dengan berlebih-lebihan, cara-cara yang tak lazim, atau akibat kesombongan dan maksiat (Q.S. al-Qashash [28]: 76; Ghâfir [40]: 75-76; al-Hadîd [57]: 23). Larangan mengungkapkan emosi senang yang terdapat pada 28:76 hendaklah dipahami sebagai emosi senang yang berlebihan dan yang membawa pada kebanggaan terhadap diri sendiri sebagai­mana yang dilaku­kan oleh Qarun ibn Yushar ibn Qahits ibn Lawi. Karena ternyata harta kekayaan dan pernik-pernik duniawi dapat membangkitkan emosi senang berlebihan dan dapat men­jauhkan manusia dari Allah. Menurut al-Baydhâwî bahwa ketidaksukaan Allah kepada orang yang mengungkapkan kegembiraannya (seperti dapat dibaca pada Q.S. al-Qashash [28]: 76) adalah jika dilaku­kan secara berlebih-lebihan dan semata-mata dalam hal keduniawian yang menye­bab­kan manusia lupa pada eksistensi Tuhan sebagai sumber kesenangan itu. Apalagi jika ungkapan emosi senang itu terjadi karena kemaksiatan yang dilakukan, sebagaimana dijelaskan Q.S. Ghâfir [40]: 75.

2.      Emosi Marah

Emosi marah adalah emosi yang paling dikenal dalam percakapan sehari-hari, bahkan sering dianggap perilaku marah identik dengan emosi. Tingkah laku yang menyertai emosi marah sangat beragam mulai dari tindakan diam atau menarik diri (withdrawal) hingga tindakan agresif yang dapat mence­derai atau mengancam nyawa orang lain. Pemicunya juga sangat beragam, dari hal-hal yang sangat sepele sampai pada pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Pada umumnya emosi marah pada manusia dikenali dengan terjadinya perubahan pada raut muka (tegang, merah padam), nada suara yang berat, anggota badan bergetar, atau sikap siap menyerang. Atau, agresivitas itu tidak menggejala karena disembunyikan dengan alasan-alasan tertentu.

Faktor penyebab keterbangkitan emosi marah ada yang bersifat eksternal dan ada pula yang bersifat internal. Faktor eksternal adalah stimuli yang datang dari luar diri kita, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam seperti cuaca, gangguan alam, atau yang lain. Sedangkan faktor internal datang dari dalam diri manusia sendiri atau sering juga disebut sebagai faktor personal. Orang yang tempramental sangat mudah tersinggung dan terpancing untuk melampias­kan emosi marahnya ketimbang dengan orang penyabar. Sikap dan tingkah laku marah dimiliki oleh semua makhluk, bahkan Allah sebagai al-Khâliq dapat marah (murka). Allah marah kepada orang yang membunuh manusia tanpa haq, musyrik, munafik, bersumpah palsu, dan sebagainya.

Gejala-gejala emosi marah yang muncul dalam sikap dan perilaku manusia yang direkam oleh al-Qur’ân dalam berbagai peristiwa, ekspresi, dan tindakan. Salah satu di antaranya, Q.S. al-A‘râf [7]: 150:

وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِنْ بَعْدِي أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلاَ تُشْمِتْ بِيَ الأَعْدَاءَ وَلاَ تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: ‘Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?’ Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: ‘Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim.”

Ekspresi emosi marah dalam penuturan al-Qur’ân dijumpai dalam semua bentuk ekspresi. Pertama, ekspresi marah dengan perubahan pada raut muka dijumpai misalnya dalam Q.S. al-Nahl [16]: 58-59; al-Zukhruf [43]: 7 (ketika orang-orang jahiliah mendapatkan bayi perempuan). Kedua, ekspresi marah dengan kata-kata diungkapkan Q.S. Thaha [20]: 86; al-Qalam [68]: 48; al-Anbiyâ’ [21]: 87-88 (peristiwa Nabi Musa yang kesal kepada saudara­nya, Harun; dan peristiwa Nabi Yunus yang kesal kepada kaumnya lalu pergi menjauh dan kemudian ditelan ikan–kekesalan berganda). Ketiga, ekspresi emosi dengan tindakan dapat dibaca pada Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 119; al-A‘râf [7]: 150 (orang-orang kafir musyrik menggigit jari-jemarinya karena marah yang bercampur benci kepada kaum Muslimin; dan peristiwa Nabi Musa melempar prasasti/alwâh ketika menjumpai kaumnya menyembah al-‘ijl). Keempat, ekspresi marah dengan diam digambarkan misalnya oleh Q.S. Yûsuf [12]: 84-85; 12:77 (Nabi Ya’qub berpaling dari anak-anaknya yang bersekongkol ‘membunuh’ Yusuf; dan Yusuf menahan marah atas fitnah saudara-saudaranya kepada dirinya).

Betapa banyak peristiwa emosi marah yang selalu kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari akibat dari tidak tercapainya sesuatu yang diinginkan. Orang bisa berteriak, memaki, membentak, menendang, menempeleng, menggebrak meja, membanting gelas, menggerutu, melotot, atau tindakan lainnya hanya karena harapannya tak kesampaian. Rekaman peristiwa di dalam al-Qur’ân telah mencatat aneka macam tingkah laku manusia ketika berbagai keinginannya gagal tercapai. Ada yang memutarbalik­kan fakta untuk mencelakakan orang yang menjadi penghalang harapan-harapannya itu (Q.S. Yûsuf [12]: 25-28). Ada yang meng­ajak perang tanding untuk menampil­kan kehebat­an yang dimilikinya agar dapat disaksikan oleh khalayak (Q.S. Thaha [20]: 63-70). Ada pula yang berusaha mengusir orang yang menjadi perintang keinginan-keinginan mereka dengan deportasi ke luar negeri mereka (Q.S. al-Naml [27]: 54-56). Dan, aneka respons emosional yang muncul di saat harapan tak kesampaian: menggerutu kalau hanya mendapat sedikit bagian zakat (Q.S. al-Tawbah [9]: 58); kesal kalau dzikrullâh mendominasi percakapan (Q.S. al-Zumar [39]: 45); jengkel yang melanda orang kafir ketika tak mampu memperdayakan dan mengalahkan orang mukmin padahal jumlah personel dan teknologi perang mereka lebih unggul (Q.S. al-Ahzâb [33]: 25).

Keterbangkitan (arousal) emosi marah kadang-kadang bermula dari percakapan biasa, tawa canda yang kemudian menyerempet ke harga diri, hingga provokasi yang disengaja untuk membang­kitkan emosi marah. Harga diri (self esteem), pembelaan pada simbol identitas, dan perebutan teritori adalah hal yang paling sering memunculkan emosi marah. Fir‘aun merasa kekuasaannya dilecehkan lalu memprovokasi masyarakat untuk mengirimkan pemberaninya melawan Musa dan pengikutnya (Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 53-55).

Personifikasi juga terjadi dalam menggambarkan emosi marah. (Personifikasi sering muncul karena gaya bahasa al-Qur’ân yang puitis, meskipun ia bukan buku sastra. Bertanya pada negeri “…وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ” [Q.S. Yûsuf [12]: 82], benda-benda angkasa terma­suk planet-planet patuh kepada Tuhannya [Q.S. al-Insyiqâq [84]: 2,5], langit dan bumi tidak menangisi mereka [Q.S. al-Dukhân [44]: 29], adalah contoh-contoh personifikasi al-Qur’ân yang harus dipahami sesuai dengan konteksnya). Q.S. al-Mulk [67]: 6-8 dan al-Furqân [25]: 12 menggambarkan tentang kegeraman neraka ketika dimasuki para pendosa. Menurut Ibn Katsir, kemarahan neraka digam­barkan hampir-hampir memisahkan bagian demi bagian akibat amarah yang dahsyat kepada penghuninya.

3.      Emosi Sedih

Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak selamanya manusia bergem­bira, adakalanya juga bersedih. Sedih karena gagal meraih sukses, mendapat kesulitan, ditinggal orang yang dicintai, atau sebab yang lain. Begitulah kehi­dup­an terjadi silih berganti (Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 140). Tertawa atau menangis sudah merupakan bawaan (naluri, gharîzah) karunia dari Allah. Dari sejak lahir manusia sudah pandai menangis dan tersenyum. Setelah mulai menapaki kehidupan orang belajar dari lingkungannya kapan tempatnya tertawa dan kapan pula menangis. Q.S. al-Najm [53]: 43 menjelaskan:

وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى

“Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.”

Kesedihan memang sesuatu yang tidak diharapkan, tetapi senang atau tidak senang, pasti mampir juga dalam perjalanan hidup manusia. Rasulullah saw. sendiri pernah mengalami kesedihan bertubi-tubi, antara lain ditinggalkan oleh orang-orang yang dikasihinya dalam selang waktu relatif singkat, sehingga tahun kejadian itu dikenal dalam sejarah sebagai âm al-huzn (tahun kesedih­an, tahun 619 H). Cobaan yang dialaminya cukup berat sampai tiba saatnya men­dapat kelapangan (al-insyi­râh, enlight­en­ment, pencerahan). Kesedihan berganti dengan kebahagiaan, beban berat terlewati, dan memang sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Sungguh! (Q.S. al-Insyirâh [94]: 1-8).

Pada umumnya, yang kita kenali dalam ekspresi emosi sedih adalah tangis. Akan tetapi, tidak berarti bahwa setiap orang yang menangis pasti bersedih, karena ternyata ada tangis bahagia, tangis haru, atau bahkan ada tangis pura-pura seperti terjadi pada kisah saudara-saudara Yusuf. Ekspresi lain adalah raut wajah yang menggambarkan suasana hati ketika sedang bersedih: dingin, pucat, pandangan lesu, tanpa senyum, tidak bergairah.

Beberapa ayat al-Qur’ân menjelaskan model-model ekspresi emosi sedih yang diperankan oleh manusia. Pertama, ekspresi emosi sedih dengan cucuran air mata yang memancarkan perasaan yang dialami (Q.S. al-Tawbah [9]: 92); kedua, tangis yang dibuat-buat untuk memberi kesan kesedihan atau sandiwara (Q.S. Yûsuf [12]: 15-16); ketiga, ekspresi sedih dalam bentuk perilaku menarik diri (withdrawal, tawallâ) disertai mata yang berkaca-kaca (Q.S. Yûsuf [12]: 84-86).

Pada umumnya, kesedihan muncul ketika seseorang ditimpa kesulitan, kemalangan, atau kondisi-kondisi yang sangat tak diharapkan lainnya. Penyebab kesedihan pasti akan mampir dalam setiap kehidupan manusia, hanya tinggal bagaimana orang itu memaknai setiap peristiwa yang dialaminya, lihat Q.S. Fushshilat [41]: 49; al-Ma‘ârij [70]: 19-22; Ghâfir [40]: 18; al-Zukhruf [43]: 17; Shâd [38]: 27; Âlu ‘Imrân [3]: 191. Orang mukmin sejati yang senantiasa memelihara ketakwaannya sangat pandai memaknai setiap peristiwa yang terjadi sehingga mereka tidak mudah larut dalam kesedihan atau keputusasaan (Q.S. al-An‘âm [6]: 48; Yûnus [10]: 62-63; al-Ahqâf [46]: 13; al-Zumar [39]: 61; al-A‘râf [7]: 35; al-Baqarah [2]: 122, 277). Kalaupun ada orang mukmin bersedih, hal itu karena ia tidak mampu memaksimalkan kebaikan yang seharusnya bisa dilakukannya (Q.S. al-Tawbah [9]: 92) seperti pada Kelompok Tujuh atau Kelompok al-Bakkâ’ûn (orang-orang yang mencu­cur­kan air mata sedih karena gagal berpartisipasi dalam suatu perang jihad yang mereka rindukan).

4.      Emosi Takut

Emosi takut merupakan salah satu emosi yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena berperan untuk mempertahankan diri dari berbagai masalah yang dapat mengancam kehidupan itu sendiri. Emosi takut manusia dalam penuturan al-Qur’ân mempunyai cakupan yang luas. Bukan hanya gambaran ketakutan di dunia ini seperti ketakutan pada kelaparan, kehilangan jiwa dan harta, bencana alam, melainkan juga menyangkut ketakutan pada kesengsaraan hidup di akhirat. Hal ini menjadi pembeda yang tegas antara orang beriman yang percaya pada kehidupan akhirat dengan yang tidak. Ketakutan pada orang beriman juga menjadi ajang promosi baginya untuk mencapai suatu predikat tertentu dalam pandangan Allah. Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 155 (juga Q.S. al-Nahl [16]: 112)

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Manfaat emosi takut menurut perspektif al-Qur’ân tidak hanya untuk menjaga manusia dari berbagai bahaya yang mengancam kehidupannya di dunia ini, tetapi juga mendorong setiap mukmin untuk memelihara dirinya dari azab Allah di akhirat. Kehidupan akhirat meskipun time response-nya lama, tetapi pasti sebagai­mana pastinya kematian itu sendiri. Sebenarnya, pada diri manusia terdapat mekanisme pertahanan diri sehing­ga segala sesuatu yang dapat mengancam dirinya akan dihindarkan atau dia yang menghindar. Menghindar dapat berupa kesengajaan atau tindakan refleks yang bersifat spontanitas terhadap ancaman yang bersifat sekonyong-konyong. Manusia akan selalu melakukan adaptation (adap­tasi, penye­suai­an diri dengan lingkungan) atau adjustment (penyesuaian ling­kungan menu­rut yang dike­hendaki) terutama terhadap hal-hal yang berpotensi mengancam jiwa.

Perubahan tingkah laku karena emosi takut umumnya diekspresikan dalam bentuk perubahan pada raut muka menjadi pucat pasih, berteriak histeris (scream), loncat dan berlari, merunduk, menutup telinga, menghindar, atau tindakan lain. Perubahan faali dapat terjadi berupa denyut nadi meningkat, jantung berdebar-debar, pandangan mata kabur, keluar keringat dingin, persen­dian terasa lemas. Ekspresi berupa tingkah laku antara lain seperti menutup telinga ketika mendengar petir dan kilat yang menyambar-nyambar (Q.S. al-Baqarah [2]: 19), mengungsi karena takut perang (Q.S. al-Baqarah [2]: 243). Ketakutan yang muncul pada hubungan intra­personal biasanya terjadi ketika mengingat peristiwa masa lampau yang tersimpan di dalam memori (Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 14; al-Qashash [28]: 18; Âlu ‘Imrân [3]: 151; al-Rûm [30]: 28). Sedangkan emosi takut yang muncul pada hubungan dengan orang lain (interpersonal) baik perorangan maupun kelompok (Q.S. Thaha [20]: 67-68; al-Syu‘arâ’ [26]: 21; Shâd [38]: 22; Thaha [20]: 40-46, 77; al-Nisâ’ [4]: 77,101; al-Anfâl [8]: 26; al-Mâ’idah [5]: 21-22; Yûnus [10]: 83).

Dari ayat-ayat itu tampak jelas adanya kesan ketakutan terhadap manusia, dalam hal ini penguasa yang lalim, kelompok tirani yang perkasa (qawm jabbârîn), dan serdadu-serdadu yang menjadi mesin perang. Akan tetapi, kemudian Allah memberi peneguhan kepada orang-orang beriman untuk berani melawan kebatilan siapapun pelakunya, dan menegakkan yang haq sesudahnya. Perbedaan-perbedaan yang ada pada manusia menyangkut ideologi, agama, etnis, dan perbedaan lainnya dapat menjadi potensi konflik antar­manusia yang menimbulkan emosi takut, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, al-Qur’ân mereduksi potensi konflik itu dengan mengajak semua pihak yang memiliki perbedaan tadi untuk saling mengenal (Q.S. al-Hujurât [49]: 13), dan kemudian saling menghormati. Kalaupun terjadi konflik antarorang perorang segera didamaikan sebelum menjadi perang besar antarkelompok (Q.S. al-Hujurât [49]: 9-10).

Pencegahan dini sebagaimana dimaksud oleh al-Qur’ân itu diperlukan karena ketika massa terlibat pada suatu masalah terkadang sulit dikendalikan. Jiwa individu ketika berada di tengah-tengah massa lebur menjadi jiwa massa. Gejala seperti ini dalam psikologi dikenal dengan istilah deindividuation.. Dan ternyata berdasarkan berbagai eksperimen, deindividuation ini potensial menjadi pemicu agresi. Dalam bahasa Feldman (1985:316), “deindividuation is also a potential cause of aggression, and this fact has been shown in a number of experiments.”

Emosi takut dalam kaitannya dengan hubungan metapersonal digambarkan al-Qur’ân dalam dua term, yaitu: al-khawf (الخوف) dan al-khasyyah (الخشية), selain term taqwâ yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan takut (yang sesungguhnya tidak pas). Sebagian ulama tafsir membedakan kedua term itu (al-khawf dan al-khasyyah), sementara yang lainnya menganggapnya sino­nim saja. Jika dicermati ayat-ayat yang menggunakan term al-khawf (seperti Q.S. Ibrâhîm [14]: 14; Q.S. al-Sajdah [32]: 16) tampaknya lebih umum dan intensitas ketakutan itu lebih ringan jika dibandingkan dengan pada term al-khasyyah (seperti Q.S. Yâsin [36]: 11; al-Mulk [67]: 12). Takut kepada bencana alam maupun bencana hari kiamat juga selalu menggunakan term al-khawf (seperti Q.S. al-An‘âm [6]: 15; al-A‘râf [7]: 59; Yûnus [10]: 15; Hûd [11]: 3, 26, 84, 103; al-Isrâ’ [17]: 57; al-Nûr [24]: 37, 50).

5.      Emosi Benci

Mekanisme pertahanan hidup manusia melahirkan berbagai tingkah laku dan berbagai jenis emosi. Emosi benci, seperti halnya emosi takut, dapat mengan­tar manusia untuk melestarikan hidupnya. Hanya saja, emosi benci itu kadang-kadang tidak tepat sasaran jika terarah pada hal-hal yang seharusnya tidak dibenci. Bahkan, menurut al-Qur’ân ada hal-hal yang sering dibenci oleh manusia, tetapi ternyata sangat bermanfaat baginya. Atau sebaliknya, disenangi tetapi mem­bawa efek negatif baginya (Q.S. al-Baqarah [2]: 216; al-Nisâ’ [4]: 19).

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Emosi kebencian dan ketidaksenangan manusia, sebagaimana tergam­bar dalam ayat-ayat al-Qur’ân, umumnya mengarah pada kebencian terhadap kebe­naran yang datang dari Allah SWT. berupa wahyu itu sendiri, keharusan untuk taat, berjihad, berinfak, dan sebagainya. Kalau dibandingkan dengan jumlah ayat yang menerangkan tentang emosi senang di dalam al-Qur’ân, maka emosi benci jauh lebih kecil jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan al-Qur’ân sebenarnya lebih cenderung pada pendekatan reward (ganjaran, targhîb) daripada punishment (hukuman, ancaman, tarhîb).

Keberpihakan Allah terhadap kebaikan merupakan salah satu cara memotivasi manusia untuk selalu dalam kebaikan dan membenci hal-hal yang buruk dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Dalam banyak ayat, Allah SWT. sering kali menutup sebuah ayat dengan menyatakan ketidaksenangannya pada keburukan itu. Allah tidak senang pada: kerusakan dan orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al-Baqarah [2]: 205; al-Maidah [5]: 64; al-Qashash [28]: 77), keterlaluan atau melampaui batas (Q.S. al-Baqarah [2]: 190; al-Mâ’idah [5]: 87; al-A‘râf [7]: 31), berfoya-foya, mubazir, isrâf (Q.S. al-An‘âm [6]: 141; al-A‘râf [7]: 31), suka berkhianat (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 107; al-Anfâl [8]: 58; al-Hajj [22]: 38), sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 36; al-Nahl [16]: 23; Luqmân [31]: 18; al-Hadîd [57]: 23), lupa daratan karena kelewat gembira (al-Qashash [28]: 76), mengingkari kebenaran, kafir (Q.S. al-Baqarah [2]: 276; Âlu ‘Imrân [3]: 32; al-Rûm [30]: 45), berbuat aniaya, zalim (Âlu ‘Imrân [3]: 57, 140; al-Syûrâ [42]: 40), suka berkata-kata kasar (al-Nisâ’ [4]: 148).

Ekspresi emosi benci yang digambarkan oleh al-Qur’ân adakalanya bersi­fat spontanitas dan adakalanya pula tidak spontanitas. Ekspresi yang tidak spon­tani­tas itu sejatinya hanya tertunda karena mungkin ada faktor takut atau hal lain jika diekspresikan pada saat itu juga. Emosi benci yang spontan dan yang tidak spontan masing-masing dapat dilihat dalam Q.S. al-Isrâ’ [17]: 46 dan Âlu ‘Imrân [3]: 119-120.

Kebenaran dari Allah digambarkan oleh al-Qur’ân dalam banyak ayat sering kali mendapat penolakan dengan ekspresi kebencian dan ketidaksenangan dari seba­gian manusia. Selalu ada upaya sistematis dan terus-menerus untuk meng­hancurkan kebenaran dari Allah itu. Dalam ungkapan al-Qur’ân misalnya disebutkan ‘mereka ingin memadamkan cahaya dari Allah’, dan sebagainya (Q.S. al-Tawbah [9]: 32-33; al-Shaff [61]: 8-9; Yûnus [10]: 82; al-Anfâl [8]: 8; al-Mu’minûn [23]: 70; al-Zukhruf [43]: 78; Muhammad [47]: 9, 26, 28; al-Zumar [39]: 45). Demikian juga ketidaksenangan pada perilaku kebaikan misalnya pada infak (Q.S. al-Tawbah [9]: 53-54), pada jihad (Q.S. al-Anfâl [8]: 5; al-Baqarah [2]: 216; al-Tawbah [9]: 81-82), ketaatan beribadah (Q.S. al-Ra‘d [13]: 15), keikhlasan dalam mengabdi (Q.S. Ghâfir [40]: 14).

Emosi benci terhadap perilaku seseorang kadang-kadang sulit dipisahkan dengan pelakunya. Ketika kita benci pada perilaku menggunjing (ghîbah), maka kita pun tak senang pada orang yang suka ghîbah itu. Atau sebaliknya, sering kali orang benci pada seseorang membawa pula ketidaksenangan pada segala yang berhubungan dengan orang itu. Tertawanya orang yang tak kita senangi terde­ngar pula tak enak di telinga. Ketidak­senangan orang kafir pada ajaran Allah berdampak kebencian kepada pembawa risalah (rasul). Hal ini yang dialami oleh para rasul sebagaimana banyak disinyalir oleh al-Qur’ân, seperti dijelaskan Q.S. al-A‘râf [7]: 88 dalam kasus Nabi Syu‘aib.

6.      Emosi Heran dan Kaget

Emosi heran dan kaget berada pada garis kontinum yang sama. Pada peristiwa heran terdapat sangkaan di luar yang dibayangkan terjadi, merasa ganjil ketika mengindera sesuatu, atau di luar kebiasaan. Sedangkan pada peristiwa kaget emosi terjadi dengan sangat tiba-tiba, terperanjat atau terkejut karena heran yang tiba-tiba. Intensitas emosi pada peristiwa kaget lebih dalam dibandingkan dengan emosi pada peristiwa heran. Akibatnya, perubahan fisiologis pada emosi kaget juga lebih tinggi, seperti denyut jantung yang lebih cepat, pernafasan yang berat, dan sebagainya. Emosi heran dan kaget diperlukan dalam konstelasi kehidupan manusia, karena hal itu memberi peringatan dan pewaspadaan terhadap sesuatu yang dapat mengancam kehidupan. Sesuatu yang tak lazim sekonyong-konyong muncul atau dijumpai di sekitar kita perlu diwaspadai kalau-kalau hal itu berbahaya bagi kehi­dupan.

Di dalam al-Qur’ân, ekspresi heran dan kaget muncul dalam sejumlah ayat sebagai fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan manusia ketika berhadapan dengan objek di lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan personal (sosial). Bahasa yang sering digunakan al-Qur’ân adalah takjub yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Seperti halnya kurva normal, kehidupan ini selalu disertai oleh keganjilan, sebagian ganjil negatif dan sebagian lagi ganjil positif. Orang yang buruk rupa dan memiliki multihandicapped dapat dikategorikan sebagai ganjil negatif, sementara yang sangat cantik atau ganteng dan nyaris tanpa cacat sebagai ganjil positif. Anak yang terbelakang mental (idiot) biasanya dianggap sebagai anak luar biasa (ke bawah), sementara yang jenius pun disebut anak luar biasa (ke atas).

Emosi kaget (heran, takjub) yang dialami oleh manusia pada umumnya diekspresi­kan dengan berteriak spontan, terperanjat, mata membelalak, merinding, merunduk, latah, meneteskan air mata, menertawai, diam seribu bahasa, termangu, terpesona, dan sebagainya. Ekspresi heran dan kaget ini juga telah digambarkan di dalam al-Qur’ân dengan sangat spektakuler, misalnya Q.S. Yûsuf [12]: 31:

فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَءَاتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلاَّ مَلَكٌ كَرِيمٌ

“Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): ‘Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.’ Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.”

Di alam ini terkandung banyak hal atau peristiwa misteri, tidak atau belum diketahui secara pasti mengapa hal itu terjadi. Dengan curiosity (keingintahuan) yang ada pada manusia sedikit demi sedikit misteri itu tersibak melalui penga­laman-pengalaman atau penelitian-penelitian. Di kalangan sufi dikenal istilah ter­singkapnya kasysyâf (tirai selubung) yang menyelimuti hakikat sesuatu ketika pengalaman dan latihan (riyâdhah, exercise) mencapai maqâm (tingkat) tertentu.

Apabila diklasifikasi berbagai peristiwa dalam kehidupan ini, maka dapat dikatakan ada tiga pewilayahan: Pertama, wilayah terang (putih), yaitu hal atau peristiwa yang telah dapat diterangkan secara jelas tentangnya, tanpa ragu. Kedua, wilayah gelap (hitam), yaitu yang masih misterius bagi manusia, belum dapat dijelaskan. Dan ketiga, wilayah bayang-bayang (abu-abu), sesuatu yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan dengan memuaskan meskipun sebagian daripadanya telah mulai tersibak. Contoh, bagi orang yang belum pernah melihat besi berani (magnet, besi yang mengandung muatan listrik) sebelum­nya akan terheran-heran ketika menyaksikan magnet itu dapat menggaet potongan besi lain di dekatnya. Baginya, magnet itu masih berada dalam wilayah hitam. Sementara para ahli fisika dan yang telah mendapat penerangan tentang teori dan cara kerja magnet itu berarti telah menjadikannya wilayah terang baginya.

Ayat-ayat yang menerangkan tentang adanya peristiwa yang mengherankan (menakjubkan) terjadi di luar kebiasaan antara lain: emosi heran berkenaan dengan malaikat (Q.S. Hûd [11]: 70), berkenaan dengan jin (Q.S. al-Jinn [72]: 1), berkenaan dengan manusia (Q.S. Shâd [38]: 22), berkenaan dengan hewan (Q.S. al-Kahf [18]: 63), berkenaan dengan tumbuh-tumbuhan (Q.S. al-Wâqi‘ah [56]: 63-65, lihat lebih lanjut 68:17-33), dan emosi heran berkenaan dengan sejarah masa lalu (misalnya Q.S. al-Kahf [18]: 9; al-Baqarah [2]: 258).

Kemampuan dan kehebatan luar biasa yang dimiliki seseorang dapat mengun­dang keheranan (takjub, ta‘ajjub) dari orang lain. Kehebatan itu, sebagai­mana dapat dibaca dari ayat-ayat al-Qur’ân, misalnya para pembawa risalah Allah yang memiliki kemampuan lebih dibanding dengan manusia pada umumnya (komunikasi melalui wahyu dengan Allah, mukjizat, integritas pribadi yang prima). Kelebihan lain yang juga dapat membuat orang heran adalah bentuk fisik, harta kekayaan, dan anak keturunan, jika hal itu tidak lazim dari biasanya menurut ukuran normal. Q.S. Qâf [50]: 2 merujuk pada ekspresi keheranan yang ditunjukkan orang yang tak percaya atau ragu tentang kemungkinan seorang manusia menjadi pembawa risalah dari Allah. Menurut al-Baydhâwî, ekspresi keheranan itu terjadi karena ketakpercayaan pada manusia biasa dari jenis mereka dapat menerima wahyu. Yang mereka harapkan adalah dari malaikat sebagaimana harapan orang-orang tua mereka sebelumnya. Ekspresi heran terhadap kemampuan diri sendiri tergambar dalam Q.S. Hûd [11]: 72-73 ketika istri Nabi Ibrahim yang sudah menopause diberitakan akan melahirkan seorang anak. Kata ‘ajûz dalam bahasa Arab diartikan sebagai nenek yang telah renta. Dalam kitab Tafsîr al-Baydhâwî dijelaskan usia pasang­an itu masing-masing sudah mencapai 90 atau 99 tahun (istri) dan 100 atau 120 tahun (iii,246).

Pengendalian Emosi

Kehidupan manusia selalu mengalami ritme yang berbeda-beda, ada saatnya mendapatkan kenikmatan lalu merasa bahagia, tetapi di saat yang lain mengalami musibah lalu bersedih. Aneka ekspresi yang muncul dalam menang­gapi berbagai situasi yang dialami itu sesungguhnya memperkaya kehidupan itu sendiri. Tak terbayangkan dalam pikiran seandainya pada semua yang dialami manusia muncul hanya satu jenis ekspresi emosi, misalnya bahagia terus-menerus atau sedih sepanjang masa, tentu tak nikmat. Morgan et al. (1986:310), memberi komentar menarik tentang hal ini sebagai berikut:

Life would be dreary without such feelings. They add color and spice to living; they are the sauce which adds pleasure and excitement to our lives. We anticipate our parties and dates with pleasure; we remember with a warm glow the satisfaction we got from getting a good grade; and we even recall with amusement the bitter disappointments of childhood. On the other hand, when our emotions are too intense and too easily aroused, they can easily get us into trouble. They can warp our judgment, turn friends into enemies, and make us as miserable as if we were sick with fever. (Hidup akan menjadi kering tanpa adanya berbagai perasaan atau emosi. Perasaan atau emosi itu menambah warna dan bumbu bagi kehidupan; ia merupakan ‘saus’ yang menambah nikmatnya kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan. Kita menanti datangnya pesta dan kencan dengan senang hati; kita mengenang dengan bangga pada kepuasan yang kita rasakan saat mendapatkan nilai yang bagus; dan kita bahkan mengingat dengan penuh geli saat-saat mengecewakan dari masa kecil kita. Di sisi lain, ketika emosi kita terlalu berlebih dan terlalu mudah terpancing, ia dapat dengan mudah membawa kita ke dalam masalah. Emosi dapat membengkokkan penilaian kita, mengubah teman jadi lawan, dan menjadikan kita sengsara ketika kita terkena sakit demam).

Benar, emosi memang menjadi bumbu kehidupan, tetapi ketika emosi memuncak tak terkendali dan atau berlangsung dalam waktu lama, maka kemungkinan timbul masalah yang runyam dalam kehidupan fisik maupun psikis. Emosi yang sangat dalam dapat menyebabkan terganggunya mekanisme faali, sistem kimiawi tubuh, dan memunculkan ketegangan-ketegangan yang merusak tatanan equilibrium (homeostatis) yang senantiasa menjaga keseimbangan dalam diri manusia. Al-Qur’ân mengidentifikasi berbagai kemungkinan penyebab emosi yang dapat merusak tatanan mekanisme fisik dan psikis itu, misalnya: ketakutan yang amat dahsyat (fobia), kelaparan, kehilangan harta dan anggota keluarga secara tiba-tiba (Q.S. al-Baqarah [2]: 155), terlampau gembira (euforia) karena memperoleh harta melimpah (Q.S. al-Qashash [28]:76), berputus ada dari rahmat Allah (Q.S. al-Zumar [39]: 53, 12: 87), dan sebagainya.

Ada beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap akibat buruk dari emosi berlebihan, antara lain:

a.       Tetap konsisten (istiqâmah) dalam kebenaran (al-haqq). Permohonan yang selalu kita sampaikan kepada Allah adalah tetap berada pada shirâth al-mustaqîm (Q.S. al-Fâtihah [1]: 6), tidak mengikuti langkah-langkah setan dan orang-orang yang telah disesatkannya, karena hal itu selalu membawa kepada kemungkaran.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Lihat pula Q.S. al-Baqarah [2]: 168, 208; al-An‘âm [6]: 142)

Satu hal paling sering membuat manusia waswas, guncang, tidak dalam kondisi tenang, yaitu ketika orang itu tidak konsisten dalam menjalani kebenaran, tetapi membiarkan dirinya melanggar aturan (hukum) mengikuti langkah-langkah setan. Semakin berat akibat hukum yang ditimbulkan suatu perbuatan semakin berat pula tingkat ketidaktenangannya. Pantas apabila Rasulullah saw. memberi indikasi perbuatan dosa dengan adanya ketidaktenangan (waswas) dalam hati dan takut diketahui orang lain:

البر حسن الخلق و الإثم ماحاك فى صدرك وكرهت أن يطلع عليه الناس

“Kebaikan itu adalah kesempurnaan akhlak, sedangkan dosa adalah apa yang membuat hatimu waswas (bergejolak) dan kamu tak senang jika orang lain mengetahuinya.” (H.R. Muslim).

 

Konsistensi dalam menjalankan kebenaran dari Allah baik dalam sikap maupun perbuatan akan mengeliminasi kekhawatiran dan kesedihan dalam hidup, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam Q.S. al-Ahqâf [46]: 13 (lihat juga Fushshilat [41]:  30).

إنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَِ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.”

 

b.      Berpikir positif dan bersikap realistis dalam menerima apa pun yang datang dari Allah sebagai bagian dari perjalanan hidup. Allah menguji manusia dengan berbagai ujian (balâ’) untuk mengetahui siapa yang mampu bersabar dan siapa yang tidak, sebagaimana dipahami dari Q.S. al-Baqarah [2]: 155-156; Muhammad [47]: 31, bahkan kehidupan dan kematian pun merupakan cobaan (Q.S. al-Mulk [67]: 2). Berpikir positif dan bersikap realistis terhadap kenyataan hidup, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, ditandai oleh mekanisme syukur-sabar. Banyak di antara manusia yang tidak mampu mengontrol dirinya ketika menghadapi kenyataan hidup, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan (Q.S. al-Ma‘ârij [70]: 20-21; Yûnus [10]: 12; al-Isrâ’ [17]: 83; Fushshilat/41:49-51). Dalam Q.S. al-Ma‘ârij tersebut telah pula dijelaskan siapa yang mampu mengendalikan (mengontrol) diri, antara lain karena telah terlatih dalam menjalankan pengabdian yang menghasilkan sikap dan perilaku syukur dan sabar. Orang yang bersikap dan berperilaku syukur jika mendapatkan karunia tidak serta-merta lupa daratan, tetapi ia memaknai sebagai karunia dari Allah yang juga menjadi ujian baginya. Q.S. al-Naml [27]: 40 mengisyaratkan hal ini.

قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.

Sementara apabila mendapat musibah ia bersikap dan berperilaku sabar dan memaknainya bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 155-157). Sabar harus dalam kesempatan pertama (al-shadmah al-ûlâ, benturan pertama)

c.       Mengatasi masalah agar tidak berkembang menjadi lebih buruk. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketegangan emosional misalnya menarik napas panjang, berteriak, katarsis. Agama mengajarkan untuk pergi berwudhu, dzikrullâh, relaksasi, dan sebagainya. Dua terakhir paling mudah dilakukan:

1.      Dzikrullâh

Mengingat Allah (dzikrullâh) dalam kondisi emosi memuncak (arousal) termasuk dalam kategori pengalihan emosi (replacement) kepada objek lain yang memungkinkan meredam efek negatifnya. Meskipun model replacement ini banyak ragamnya, dzikrullâh termasuk yang paling mudah dilakukan dan dalam banyak hal sangat efektif, terutama mereka yang sudah terlatih untuk itu. Berkenaan dengan hal ini, Allah menjelaskan di dalam Q.S. al-Ra‘d [13]: 28 sebagai berikut:

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

d.      Relaksasi

Pada saat emosi memuncak sistem kimiawi tubuh ikut berubah dan dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan fisik dan psikis. Untuk mereduksi pengaruh-pengaruh buruk itu perlu segera dikembalikan ke posisi equilibrium normal dengan cara relaksasi. Rasulullah saw. memberi solusi ketika seseorang marah (mewakili emosi negatif) agar segera mengubah posisi ketika itu.

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

“Jika seseorang di antara kamu marah dalam posisi berdiri, maka hendaklah ia duduk mudah-mudahan marahnya hilang. Kalau belum reda juga, maka sebaiknya ia berbaring.”

B.     Pengertian Nilai, Moral, dan Sikap

Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.

1.      Nilai

Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Adapun menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.Menurut Harrocks, Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.

Dalam buku  Psikologi  Perkembangan Peserta Didik oleh Prof. Sinolungan mengatakan nilai adalah suatu yang diyakini kebenarannya, dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta diwujudkan dalam sikap atau perilakunya. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.

Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya. Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:

a.       Nilai teori atau  nilai keilmuan (I)

Mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang yang bekerja terutama atas dasar pertimbangan rasional.

b.      Nilai ekonomi (E)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan ada tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya.

c.       Nilai sosial atau nilai solidaritas (Sd)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri, baik berupa keberuntungan atau ketidakberuntungan.

d.      Nilai agama (A)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu dipandang benar menurrut ajaran agama.

e.       Nilai seni (S)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok atas dasar pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.

f.       Nilai politik atau nilai kuasa (K)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan baik buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya. 

2.      Moral

Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.

Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual, dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.

Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Berdasarkan penelitiannya, Kohlbert (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:

a.       Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.

b.      Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.

c.       Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.

Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:

a.       Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.

b.      Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kodeprilaku.

c.       Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.

Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:

a.       Tingkat Prakonvensional

Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan

Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.

Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental

Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-rugi.

b.      Tingkat Konvensional

Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau  masyarakat. Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi “Anak Manis”.

Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.

Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban

Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.

c.       Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip.

Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas

Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban.

Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal

Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.

Berdasarkan tingkatan dan tahapan perkembangan moral, kohlberg (1995) menerjemahkannya ke dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan harapan perkembangan moral, motif-motif perilaku moral manusia adalah sebagai berikut:

Tahap 1: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati yang pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.

Tahap 2:Perbuatan moral individu dimotivasikan oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis (membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau rasa sakit dari akibat hukuman).

Tahap 3: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.

Tahap 4: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang   mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa bersalah diri atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.

Tahap 5:Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi , keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri (misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten, dan tanpa tujuan).

Tahap 6:Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan rasa hormat dari diri sendiri. Selain itu juga dibedakan antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai rasionalitas dan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip moral.

3.      Sikap

Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.

Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.

Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:

a.       Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.

b.      Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.

c.       Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk perkembangan sikap individu.

Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penafsiran dan penilaian sikap.

Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama dan dikenal sangat luas, yaitu:

a.       Skala Likert

Dalam skala ini disajikan satu seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian responden diukur sikapnya untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban yang telah disediakan. Yaitu:

1)      Sangat setuju

2)      Setuju

3)      Ragu-ragu/netral

4)      Tidak setuju

5)      Sangat tidak setuju.

b.      Skala Thurstone

Dalam skala ini terdapat sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda dan responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih sedemikian rupa sehingga tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang sangat menyenangi sampai yang sangat tidak menyenangkan.

 

C.    Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap

Menurut Danel Susanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan, seperti dibawah ini:

1.      Perubahan fisik

Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan berfungsi. Disamping itu tanda-tanda seksualitas sekunder juga mulai nampak pada diri remaja.

2.      Perubahan intelek

Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.

3.      Perubahan emosi

Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.

4.      Perubahan sosial

Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkah laku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting” dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.

5.      Perubahan moral

Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.

Ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni:

1.      Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.

2.      Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach)

Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985). Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:

a.       Tahap “premoral” atau “preconventional”. Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau social

b.      Tahap “conventional”. Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.

c.       Tahap “autonomous”. Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.

3.      Pendekatan analisis nilai (values analysis approach)

Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.

4.      Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach)

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.

5.      Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) (Superka, et. al. 1976).

Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan “moral reasoning” dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.

D.        Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap

Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek bebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya.

Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga, yaitu:

1.      Id atau Das Es

2.      Ego atau Das Ich

3.      Super Ego atau Da Uber Ich

 Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan dan menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugs utama Ego adalah mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar. Superego adalah sumber moral dalam kepribadian. Superego adalah kode moral individu yang tugas utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.

Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena superego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.

E.     Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja

Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang.

Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak hanya lagi terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggujawabkan secara pribadi.

Tingkat perkembangan fisik psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua atau orang dewasa lainnya. Apabila kalau orang tua dan orang dewasa berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai untuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang lebih matang dan mandiri.

F.     Teori Perkembangan Moral

1.      Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget

Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan. Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak  mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.

Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan, yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous. Sebelum mempelajari perbedaan kedua tahap tersebut berikut ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan pengamatan Piaget terhadap anak-anak yang sedang bermain kelereng.

a)      Pengembangan aturan permainan

Sebelumnya telah dibahas bahwa Piaget mencoba mempelajari tingkah laku anak melalui permainan kelereng. Hal itu dilakukan Piaget untuk memahami bagaimana anak-anak berpikir dan menyesuaikan konsepsinya mengenai aturan-aturan yang berlaku. Jean Piaget memilih permainan kelereng, selain untuk memperoleh jawaban atas penelitiannya, juga untuk memberikan kebebasan anak-anak untuk menjelaskan dan membuat aturan sendiri. Dari hasil wawancaranya dengan anak-anak pada tingkat usia yang berbeda, diperolehlah jawaban yang berbeda-beda pula. Berikut ini hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:28), diketahui bahwa:

1)      Anak-anak disekitar usia 3 tahun, belum mengembangkan permainannya sendiri dan cenderung bermain individual tanpa kerjasama. Anak-anak pada usia ini cenderung menerima aturan tanpa proses pertimbangan terlebih dahulu.

2)      Anak-anak usia 3-5 tahun, mulai bermain secara berkelompok, meskipun masing-masing anak masih menganggap pendapatnya yang paling benar. Anak-anak ini belum memiliki empati dan belum mampu menempatkan diri dalam pergaulan. Anak-anak pada usia ini cenderung memperhatikan aturan yang berasal dari orang dewasa, meskipun pada usia ini mereka sering melanggar aturan tersebut.

3)      Anak usia 7-8 tahun, mulai muncul perhatian untuk menyeragamkan aturan permainan meskipun aturan permainannya umumnya masih belum jelas (kabur).

4)      Anak usia 11-12 tahun, mulai dapat menentukan dan membuat kesepakatan bersama tentang aturan permainan. Anak sudah dapat melihat bahwa aturan sebagai suatu yang bisa diubah dan dibuat berdasarkan kesepakatan.

b)      Intensi dan konsekuensi

Konsepsi anak tentang aturan dapat berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangan moralnya. Untuk memahami perubahan konsepsi yang terjadi, Piaget menghadapkan anak pada masalah-masalah moral seperti berbohong.Dari hasil penelitiannya, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:31)menyatakan, bahwa anak-anak dengan usia lebih muda cenderung menilai suatu perbuatan berdasarkan konsekuensi yang hanya bersifat material. Anak-anak dengan usia yang lebih tua berpikir sebaliknya, mereka sudah mampu memperhatikan intensi kesalahan yang muncul dari suatu perbuatan. Intensi dan komsekuensi merupakan gambaran perubahan perkembangan moral dari tahap heteronomous ke tahap autonomous. Dalam mengetahui pendapat anak tentang makna berbohong, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:32) melakukan tanya jawab dengan anak-anak. Pada tanya jawab itu, diperolehlah hasil bahwa anak-anak yang lebih muda usianya memberi makna bahwa bohong sesuatu yang jelek dan tidak seorangpun sanggup mengatakannya. Anak-anak yang usianya lebih tua memberi makna bohong adalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya dan tidak baik untuk diucapkan.

c)      Hukuman-hukuman ekspiatoris dan resiprokal

Melalui cerita-cerita sederhana yang berhubungan dengan pelanggaran dalam keluarga, yaitu antara orang tua dan anak, Piaget mencoba untuk mengidentifikasi konsepsi anak-anak mengenai keadilan. Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:33) mengklasifikasikan hukuman ke dalam dua bentuk, yaitu hukuman-hukuman yang bersifat ekspiatoris (expiatory punishment) dan hukuman-hukuman yang bersifat resiprositas (reciprocity punishment).

Hukuman yang bersifat ekspiatoris, Sherwood (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:33) mengemukakan, bahwa hukuman harus atas pertimbangan yang wajar antara bobot kesalahan dan juga bobot penderitaan si pelanggar atas hukuman yang ditimpakan. Contoh hukuman ekspiatoris dalam keluarga antara lain memukul, menampar, tidak memberi uang jajan, dilarang bermain untuk sementara waktu, dan sebagainya. Hukuman yang bersifat resiprositas (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:34) senantiasa membuat keterkaitan antara hukuman dengan tindakan kesalahan yang dibuat. Melalui hal tersebut, diharapkan si pelanggar sadar akan akibat-akibat perbuatannya. Bentuk hukuman resiprositas dapat berupa ganti rugi dan pengucilan.

Berdasarkan hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:34), diketahui bahwa hukuman resiprositas dikembangkan oleh anak-anak yang tingkat perkembangan moralnya pada tahap Autonomous. Dari 100 anak yang diwawancarai, Piaget mencatat bahwa anak pada usia 6-7 tahun 30% memilih hukuman ini, anak pada usia 8-10 tahun mencapai 50% memilih hukuman ini, dan anak pada usia 11-12 tahun mencapai 80% memilih hukuman ini. Sebaliknya, hukuman ekspiatoris dipilih anak-anak yang perkembangan moralnya pada tahap heteronomous. Anak-anak pada tingkat usia ini, percaya bahwa keadilan selalu berhubungan dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan seseorang, dan orang tersebut akan memperoleh hukuman atas kesalahannya tersebut secara alamiah.

d.      Antara Equality dan Equity

Membahas mengenai keadilan, Piaget menekankan pada dua bentuk keadilan distributif  yaitu equality dan equatity. Menurut pandangan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:35), equality yaitu pemikiran bahwa tiap manusia harus diperlakukan secara sama, sedangkan equity yaitu pemikiran yang lebih mempertimbangkan tiap-tiap individu. Untuk mengamati perbedaan kedua bentuk keadilan distributif tersebut, Piaget mengangkat masalah-masalah ke dalam sebuah cerita untuk mengetahui respon anak-anak berdasarkan tingkat usianya. Dari respon-respon yang muncul, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:36) membedakan respon tersebut ke dalam tiga tahap yaitu:

1)      Tahap Just, di mana anak berpikir bahwa apa yang dikatakan orang dewasa adalah ibarat hukum yang harus dijalankan.

2)      Tahap Equality Orientation, di mana anak berpikir bahwa tidak peduli saat menghadapi hukuman ataupun sedang menolak perintah, mereka akan lebih melihat kekuasaan tertinggi.

3)      Tahap Equity Dominates, di mana anak berpikir bahwa equalitas (perlakuan sama) tidak akan pernah dikembangkan tanpa memperhatikan situasi yang dihadapi tiap individu.

Berdasarkan pembahasan dan penjabaran di atas, Piaget (dalam Slavin, 2006:52),  menyimpulkan bahwa terdapat dua tahap perkembangan moral dengan ciri-cirinya masing-masing,yaitu sebagai berikut:

Tabel Tahap Perkembangan Moral Piaget

Tahap heteronomous

(tahap realisme moral)

Anak usia <12 tahun

Tahap Autonomous

(tahap independensi moral)

Anak usia >12 tahun

Diberi label tahap moralitas kendala

Diberi label tahap moralitas kerjasama

Aturan dipandang sebagai paksaan dari orang yang lebih dewasa

Aturan dipandang sebagai hasil kesepakatan bersama

Menilai perilaku moral berdasarkan konsekuensinya

Menilai perilaku moral berdasarkan niat pelakunya

Hukuman dipandang sebagai konsekuensi otomatis dari pelanggaran

Hukuman dipandang sebagai sesuatu hal yang tidak serta merta, namun dipengaruhi oleh niat pelakunya

 

2.      Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg

Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).

Tahapan-tahapan perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan perkembangan moral dalam teori Piaget. Berikut ini adalah tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral:

a.       Tingkat Prekonvensional

Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan. Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang menerapkan norma-norma tersebut. Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:

1.      Tahap Punishment and Obedience Orientation

Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.

2.      Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation

Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan. Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang berlangsung di pusat perbelanjaan, di mana terdapat timbal balik dan sikap terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.

b.      Tingkat Konvensional

Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku. Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:

1.      Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation

Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Anak biasanya akan menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan bermoral. Moralitas suatu tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.

2.      Tahap Law and Order Orientation

Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada.

c.       Tingkat Postkonvensional

Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu:

1.      Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation

Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.

2.      Tahap Orientation of Universal Ethical Principles

Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.

Pengaruh Teori-Teori Perkembangan Menurut Piaget dan Kohlberg dalam Dunia Pendidikan

Dalam teori Piaget, disimpulkan bahwa pendidikan sekolah seharusnya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan siswa mengambil keputusan dan memecahkan masalah. Pembinaan perkembangan moral dilakukan dengan cara-cara yang menuntut siswa untuk mengembangkan aturan yang adil. Pendidikan nilai menitikberatkan kepada pengembangan perilaku yang dilandasi oleh penalaran moral dalam kehidupan masyarakat.

Dalam teorinya, Kohlberg menolak konsep pendidikan nilai/karakter tradisional yang berdasarkan pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan seperti kejujuran, kesabaran, dan sebagainya yang menjadi landasan perilaku moral. Konsep tersebut dinilai tidak membimbing siswa untuk memahami kebajikan mana yang sungguh baik untuk diikuti. Oleh karena itu, Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klasifikasi nilai yang bertolak dari asumsi bahwa tidak ada satu-satunya jawaban yang benar terhadap suatu persoalan moral, tetapi di dalamnya ada nilai yang penting sebagai dasar berpikir dan bertindak.

G.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.

1.      Lingkungan Keluarga

Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar mereka tidak mampu mengembangkan superegonya sehingga mereka bias menjadi orang yang sering melakukan pelanggaran norma.

2.      Lingkungan Sekolah

Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik.

3.      Lingkungan Pergaulan

Dalam pengembangan kepribadian, factor lingkungan pergaulan juga turut mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan terkadang seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya.

4.      Lingkungan Masyarakat

Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri untuk pelanggar-pelanggarnya.

5.      Teknologi

Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh: internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.

Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap informs seperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.

Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya individu yang tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan.

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nlai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Menurut Adamm dan Gullotta, terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :

1.      Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orangtua.

2.      Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal.

3.      Terdapat dua faktor yang  dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja, yaitu: orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai berbagai isu, dan orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif. 

Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, diantaranya  sebagai berikut :

a.       Konsisten dalam mendidik anak

Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.

b.      Sikap orangtua dalam keluarga

Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis).

c.       Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

d.      Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma

Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orang tuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku seperti orangtuanya.

Faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangan moral :

1.      Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap orang dalam masyarakat.

2.      Keadaan masyarakat yang kurang stabil.

3.      Tidak terlaksanamya pendidikan moral yang baik.

4.      Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingya pendidikan moral dasar sejak dini.

5.      Banyaknya orang yang melalaikan budi pekerti.

6.      Suasana rumah tangga yang kurang baik.

7.      Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang.

8.      Kurangnya tempat layanan bimbingan.

H.    Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap.

Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak dikalangan selebritis.

Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral dan sikap, tergantung dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg, 1963). Sedangkan pada anak-anak yang berusia lebih tua, mereka bisa menawar aturan-aturan tersebut kalau disetujui oleh semua orang.

Pada sebagian remaja dan orang dewasa yang penalarannya terhambat, pedoman mereka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat kedua sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain. Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar belakang kebudayaannya. Jadi, ada kemungkinan terdapat individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral dan sikap serta tingkah laku yang diharapkan padanya.

Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu. Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya.

I.       Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi Pendidikan

Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.

Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak semua individu mencapai pengembangan nilai-nilai hidup, perkembangan moraldan tingkah laku seperti yang diharapkan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,moral dan sikap remaja adalah berikut:

1.      Menciptakan komunikasi.

Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya memberikan evaluasi, tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif dalam beberapa pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga, teman sepergaulan, serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya anak diberi kesempatan untuk kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak berperan secara aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Anak tidak hanya harus mendengarkan tetapi juga harus dirangsang agar lebih aktif. Misalnya mengikutsertakan ia dalam pengambilan keputusan di keluarga dan pemberian tanggung jawab dalam kelompok sebayanya. Karena nilai-nilai kehidupan yang dipelajari barulah betul-betul berkembang apabila telah dikaitkan dalam konteks kehidupan bersama.

2.      Menciptakan iklim lingkungan yang serasi.

Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan secara positif, jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas diri,kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa ini. Nilai nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengatur tingkah laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu lingkungan yang lebih bersifat mengajak, mengundang, atau member kesempatan akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya larangan- larangan yang bersifat serba membatasi.

 

 REFERENSI :

Ahmadi Abu. 2003. Psikologi Umum. Jakarta : Rineka Cipta.

Saleh Rahman Abdul dan Wahab Abdul Muhbib. 2009. Psikologi Suatu Pengantar (Dalam Prespektif Islam). Jakarta : Kencana.

Sarwono W Sarwito. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Ali, Mohammad dan Asrori, Muhammad. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta:PT Bumi Aksara.

Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Panuju, Panut dan Umami, Ida. 1999. Psikologi Remaja . Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Malang: IKIP Malang.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Manning, S.A. 1977. Child And Adolescent Development. Washington, D.C: Departement of Psychology University of the District of Columbia.

Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. United States of America: Johns Hopkins University.

Universitas Negeri Yogyakarta. Dasar-Dasar Pengertian Moral. (Online)

 http://www.duniapsikologi.com/emosi/ diakses pada tanggal 13 Mei 2015pukul 23:00 WIB

http://akhmadsudrajat.wordpress.com diakses pada tanggal 13 Mei 2015 pukul 13.30 WIB

Duniapsikologi.com.2012."Kematangan Emosi;Pengertian dan Faktor yang Mempengaruhi". Dalam http://www.duniapsikologi.com/kematangan-emosi-pengertian-dan-faktor-yang-mempengaruhi/ diakses pada tanggal 16 Mei 2015 pukul 16.00 WIB.

Google.2012."Emosi: Kematangan Emosi". Dalam http://enggarasyari.wordpress.com/2012/01/13/emosi-kematangan-emosi diakses pada tanggal 16 Mei 2015 pukul 16.35WIB.

 (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/DASAR%20PENGERTIAN%20MORAL.pdf ), diakses 16 Mei 2015 pukul 20.30 WIB.

http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/256-emosi-menurut-perspektif-al-quran diakses pada tanggal 17 Mei 2015 pukul 13.58 WIB

http://km07010017.blogspot.com/2012/01/emosi-dalam-pesrfektif-al-quran.html  diakses pada anggal 17 Mei 2015 pukul  14. 15 WIB

 

 

0 komentar:

Posting Komentar