A.
Pengertian
emosi
Secara etimologis emosi berasal dari kata Prancis
emotion, yang berasal lagi dari emouvoir, ‘exicte’ yang berdasarkan
kata Latin emovere, artinya keluar. Dengan demikian secara etimologis
emosi berati “bergerak keluar”.
Emosi adalah suatu konsep yang sangat majemuk sehingga
tidak dapat satu pun definisi yang diterima secara universal. Emosi sebagai reaksi penilaian(positif
atau negatif) yang kompleks dari sistem saraf seseorang terhadap rangsangan
dari luar atau dari dalam diri sendiri.
1.
Pendapat tokoh tentang pengertian emosi.
a. Diungkap Prezz (1999) seorang EQ organizational
consultant dan pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan,
secara tegas mengatakan emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi
tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas
kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi
adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik.
b. Hathersall (1985) merumuskan pengertian emosi sebagai suatu
psikologis yang merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat dari reaksi
wajah dan tubuh. Misalnya seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka
merah, wajah seram, dan postur tubuh menegang, bertingkah laku menendang atau
menyerang, serta jantung berdenyut cepat.
c. Keleinginna and Keleinginan (1981) berpendapat bahwa emosi seringkali berhubungan
dengan tujuan tingkah laku. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan
(feeling), misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan,
marah, takut bahagia, sedih dan jijik.
d. William James (dalam DR. Nyayu Khodijah) mendefinisikan emosi sebagai
keadaan budi rohani yang menampakkan dirinya dengan suatu perubahan yang jelas
pada tubuh.
2.
Perasaan dan emosi
Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep
yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan
menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling)
merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari
eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat
wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai
keadaan yang terangsang dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam
dari perasaan. Menurut Nana Syaodih Sukadinata (2005), perasaan
menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat
riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy sedangkan emosi menggambarkan suasana
batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak
atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa
diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga
BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika
perasaan marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak
terkendali maka perasaan marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Orang merasa sedih karena ditinggal kekasihnya, tetapi jika
kesedihannya diekspresikan secara berlebihan, misalnya dengan selalu diratapi
dan bermuram durja, maka rasa sedih itu sebagai bentuk emosinya.
Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan
temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa
perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis
kontinum yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling
negatif, seperti: senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak
suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing),
terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing).
Karena sifatnya yang dinamis, bisa dipelajari dan lebih
mudah diamati, maka para ahli dan peneliti psikologi cenderung lebih tertarik
untuk mengkaji tentang emosi daripada unsur-unsur perasaan. Daniel Goleman salah seorang ahli psikologi yang
banyak menggeluti tentang emosi yang kemudian melahirkan konsep Kecerdasan
Emosi, yang merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan
orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain.
3.
Unsur-unsur perasaan.
a.
Besifat
subyektif daripada gejala mengenal.
b.
Bersangkut
paut dengan gejala mengenal.
c.
Perasaan
dialami sebagai rasa senang atau tidak senang yang tingkatannya tidak sama.
Perasaan lebih erat hubungannya denga pribadi seseorang
dan berhubungan pula dengan gejala-gejala jiwa yang lain. Oleh sebab itu
tanggapan perasaan seseorang terhadap sesuatu tidak sama
dengan tanggapan perasaan orang lain terhadap hal yang sama. Karena adanya
sifat subyektif pada perasaan inilah maka gejala perasaan tidak dapat disamakan
dengan gejaja mengenal berfikir dan lain sebagainya.
4.
Macam-macam emosi.
Menurut Syamsu Yusuf (2003) emosi individu dapat
dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu:
a.
Emosi
sensoris.
Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh
rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti
rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar.
b.
Emosi
psikis.
Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan
kejiwaan, seperti : perasaan intelektual, yang
berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran perasaan sosial, yaitu perasaan yang
terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun
kelompok.
1)
Perasaan
susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau
etika (moral).
2)
Perasaan
keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan
sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian.
3)
Perasaan
ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan
makhluk beragama (Homo Religious).
5.
Teori-Teori Emosi
a.
Teori
James-Lange
Emosi yang dirasakan adalah persepsi tentang perubahan
tubuh. Salah satu
dari teori paling awal dalam emosi dengan ringkas dinyatakan oleh Psikolog
Amerika William James: “Kita merasa sedih karena kita menangis, marah karena
kita menyerang, takut mereka gemetar”.Teori ini dinyatakan di akhir abad ke-19
oleh James dan psikolog Eropa yaitu Carl Lange, yang membelokkan gagasan umum
tentang emosi dari dalam ke luar. Di usulkan serangkaian kejadian disaat kita emosi : Kita menerima situasi yang akan menghasilkan emosi.
Kita bereaksi ke situasi tersebut,Kita
memperhatikan reaksi kita. Persepsi kita terhadap reaksi itu
adalah dasar untuk emosi yang kita alami. Sehingga
pengalaman emosi-emosi yang dirasakan terjadi setelah perubahan tubuh,
perubahan tubuh (perubahan internal dalam sistem syaraf otomatis atau gerakan
dari tubuh memunculkan pengalaman emosi. Agar teori
ini berfungsi, harus ada suatu perbedaan antara perubahan internal dan
eksternal tubuh untuk setiap emosi, dan individu harus dapat menerima mereka.
Di samping ada bukti perbedaan pola respon tubuh dalam emosi
tertentu, khususnya dalam emosi yang lebih halus dan kurang intens, persepsi
kita terhadap perubahan internal tidak terlalu teliti.
b.
Teori
Cannon-Bard
Emosi yang dirasakan dan respon tubuh adalah kejadian
yang berdiri sendiri-sendiri. Di tahun I920-an, teori lain tentang hubungan antara
keadaan tubuh dan emosi yang dirasakan diajukan oleh Walter Cannon, berdasarkan
pendekatan pada riset emosi yang dilakukan oleh Philip Bard. Teori Cannon-Bard
menyatakan bahwa emosi yang dirasakan dan reaksi tubuh dalam emosi tidak
tergantung satu sarna lain, keduanya dicetuskan secara
bergantian. Menurut teori ini, kita pertama kali menerima
emosi potensial yang dihasilkan dari dunia luar; kemudian daerah otak yang
lebih rendah, seperti hipothalamus diaktifkan. Otak yang lebih rendah
ini kemudian mengirim output dalam dua arah: (1) ke organ-organ tubuh dalam dan
otot-otot eksternal untuk menghasilkan ekspresi emosi tubuh, (2) ke korteks
cerebral, dimana pola buangan dari daerah otak lebih
rendah diterima sebagai emosi yang dirasakan. Kebalikan dengan teori
James-Lange, teori ini menyatakan bahwa reaksi tubuh dan emosi yang dirasakan
berdiri sendiri-sendiri dalam arti reaksi tubuh tidak berdasarkan pada emosi
yang dirasakan karena meskipun kita tahu bahwa hipothalamus dan daerah otak di
bagian lebih bawah terlibat dalam ekspresi emosi, tetapi kita tetap masih tidak
yakin apakah persepsi tentang kegiatan otak lebih bawah ini adalah dasar dari
emosi yang dirasakan.
c.
Teori
Kognitif tentang Emosi
Teori ini memandang bahwa emosi merupakan interpretasi
kognitif dari rangsangan emosional (baik dari luar atau dalam tubuh). Teori ini dikembangkan oleh Magda
Arnold (1960), Albert Ellis (1962), dan Stanley Schachter dan Jerome Singer
(1962). Berdasarkan teori ini, proses interpretasi kognitif dalam emosi
terbagi dalam dua langkah: 1. Interpretasi stimuli dari lingkungan. Interpretasi pada stimulus, bukan stimulus itu sendiri, menyebabkan
reaksi emosional. Contohnya, jika suatu hari kamu menerima kado dari
Wini dimana Wini adalah musuh besarmu, maka kamu akan
merasa takut atau bisa mengganggap bahwa kado tersebut berbahaya. Tetapi akan berbeda ceritanya bila Wini adalah seorang teman
karibmu, maka kamu akan dengan senang hati menerima dan membuka kado tersebut
tanpa curiga. Jadi dalam teori kognitifpada emosi, informasi dari stimulus
berangkat pertama kali ke cerebral cortex, dimana akan
diinterpretasi pada pengalaman masa kini dan lamapau. Lalu pesan tersebut
dikirim ke limbyc system dan sistem saraf otonom yang kemudian akan menghasilkan arousl secara fisiologis. Interpretasi stimuli dari tubuh yang dihasilkan dari arousal saraf
otonom Langkah kedua dalam teori kognitif pada emosi yaitu interpretasi
stimulus dari dalam tubuh yang merupakan hasil dari arousal otonom. Teori kognitif menyerupai teori James-Lange teori menekankan
pentingnya stimuli internal tubuh dalam mengalami emosi, tetapi sebenarnya itu
berlanjut ke interpretasi kognitif dari stimuli, dimana hal tersebut lebih
penting dari pada stimuli internal itu sendiri.
6.
Kecerdasan emosi
Suatu terobosan teori tentang emosi dikemukakan oleh
Daniel Goleman dalam bukunya The Emotional Intelligence. Golemen melanjutkan penelitian-penelitian sebelumnya
yang sudah berlangsung sejak 1970-1980-an termasuk yang dilakukan oleh Howard Gardener(tentang multiple intelegence), Peter Salovey, dan
Jhon Mayer.Dalam bukunya, Golemen menyatakan tiga hal yang sangat penting
sehingga teorinya bisa dianggap sebagai terobosan. Yang pertama, emosi
itu bukan bakat, melainkan bisa dibuat dilatih dan dikembangkan, dipertahankan
dan yang kurang baik dikurangi atau dibuang sama
sekali. Kedua, emosi itu
bisa diukur seperti intelegensi. Hasil
pengukurannya disebut EQ (emotional Quotient). Dengan
demikian, kita tetap dapat memonitor kondisi kecerdasan emosi kita. Ketiga, dan ini yang terpenting, EQ
memegang peranan lebih penting daripada IQ. Sudah terbukti
banyak rang dengan IQ tinggi, yang di masa lalu dunia psikologi dianggap
sebagai jaminan keberhasilan seseorang, justru mengalami kegagalan. Mereka kalah daarai orang-orang dengan IQ rata-rata saja, tetapi
memiliki EQ yang tinggi. Menurut Goleman, sumbangan IQ dalam menentukan
keberhasilan seseorang hana sekitar 20-30% saja, selebihnya ditentukan oleh EQ
yang tinggi.
Adapun orang yang dikatakan mempunyai EQ yang tinggi
adalah jika ia memenuhi kriteria berikut, yaitu
sebagai berikut:
a.
Mampu
mengenali emosinya sendiri.
b.
Mampu
mengendalikan emosinya dengan situasi dan kondisi.
c.
Mampu
menggunakan emosinya untuk meningktakan motivasinya sendiri(bukan
malah membuat diri putus asa atau bersikap negatif pada orang lain).
d.
Mampu
berinteraksi positif dengan orang lain.
7. Pengaruh Emosi pada belajar
Emosi berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas
belajar (Meier dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006). Emosi yang positif dapat mempercepat proses belajar
dan mencapai hasil belajar yang lebih baik, sebaliknya emosi yang negatif dapat
memperlambat belajar atau bahkan menghentikannya sama
sekali. Oleh karena itu, pembelajaran yang berhasil haruslah
dimulai dengan menciptakan emosi positif pada diri pembelajar. Untuk
menciptakan emosi positif pada diri siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan menciptakan lingkungan
belajar yang menyenangkan dan dengan penciptaan kegembiraan belajar. Menurut Meier, 2002 (dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006) kegembiraan
belajar seringkali merupakan penentu utama kualitas dan kuantitas belajar yang
dapat terjadi. Kegembiraan bukan berarti menciptakan
suasana kelas yang ribut dan penuh hura-hura. Akan
tetapi, kegembiraan berarti bangkitnya pemahaman dan nilai yang membahagiakan
pada diri si pembelajar. Selain itu, dapat juga
dilakukan pengembangan kecerdasan emosi pada siswa. Kecerdasan emosi
merupakan kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya secara sehat terutama
dalam berhubungan dengan orang lain.
8.
Pertumbuhan emosi
Pertumbuhan dan perkembangan emosi seperti juga pada
tingkah laku lainnya ditentukan oleh pematangan dan proses belajar seorang bayi
yang baru lahir dapat menangis tetapi ia harus
mencapai ringkas kematangan tertentu untuk dapat tertawa setelah anak itu sudah
besar maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa digunakan untuk
maksud-maksud tertentu atau untuk situasi tertentu. Makin besar anak itu makin
besar pula kemampuannya untuk belajar sehingga
perkembangan emosinya makin rumit. Perkembangan emosi melalui proses kematangan
hanya terjadi sampai usia satu tahun. Setelah itu
perkembangan selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh proses belajar.
9.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
kematangan emosi seseorang (Astuti, 2000, Faktor-faktor yang mempengaruhi
Kematangan Emosi, para. 1), antara lain:
a.
Pola
asuh orang tua
Pola asuh orang tua sangat bervariasi. Ada pola asuh yang otoriter, memanjakan, acuh tak acuh
dan ada juga yang penuh dengan cinta kasih.Keluarga merupakan lembaga
pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat belajar dan menyatakan dirinya
sebagai makhluk sosial, karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama
tempat anak dapat berinteraksi. Dari pengalaman berinteraksi dalam keluarga ini
akan menentukan pula pola perilaku anak.
b.
Pengalaman
traumatic
Kejadian-kejadian traumatis dapat bersumber dari
lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar keluarga. Kejadian masa lalu yang memberikan kesannya traumatis akan mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Akibatnya rasa takut dan juga sikap terlalu waspada terhadap
lingkungan seumur hidupnya.
c.
Temperamen
Temperamen dapat didefinisikan sebagai suasana hati
yang mencirikan kehidupan emosional seseorang. Pada tahap tertentu masing-masing
individu memiliki kisaran emosi sendiri-sendiri, dimana temperamen merupakan
bawaan sejak lahir, dan merupakan bagian dari genetik yang mempunyai kekuatan
hebat dalam rentang kehidupan manusia.
d.
Jenis
kelamin
Perbedaan jenis kelamin memiliki pengaruh yang
berkaitan dengan adanya perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan,
peran jenis maupun tuntutan sosial yang berpengaruh terhadap adanya perbedaan
karakteristik emosi diantara keduanya.
e.
Usia
Perkembangan kematangan emosi yang dimiliki seseorang
sejalan dengan pertambahan usia, hal ini dikarenakan
kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis
seseorang.
f.
Perubahan
Jasmani
Perubahan Jasmani yaitu perubahan hormon-hormon yang
mulai berfungsi sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing, misalnya
perubahan kulit wajah yang awalnya bersih menjadi jerawatan.
g.
Perubahan
Interaksi dengan Teman sebaya
Di usia remaja, anak didik
kebanyakan membentuk sebuah perkumpulan yang biasa disebut Genk. Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi ialah faktor hubungan
cinta dengan teman lawan jenis.
h.
Perubahan
Pandangan Luar
i.
Perubahan
Pandangan Luar dapat menimbulkan konflik dalam emosi seseorang, contoh :
1.
Tidak
konsistennya sikap dunia luar terhadap pribadi anak.
2.
Membeda-bedakan
wanita dan pria.
3.
Dunia
luar memanfaatkan kondisi ketidaklabilan seseorang untuk pengaruh yang
negative.
j.
Perubahan
Interaksi dengan Sekolah
Sering kali seorang anak lebih percaya, lebih patuh,
lebih takut kepada guru daripada kepada orangtuanya.
Kematangan
emosi seseorang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik intern (dari
dalam diri sendiri) maupun faktor ekstern (dari luar diri sendiri), yaitu
antara lain adalah:
1.
Adanya
penyesuaian diri yang baik, kemampuan untuk berfungsi sebagai manusia yang
dapat bergantung pada diri sendiri, harus dikembangkan secara bertahap dan
terus menerus seiring dengan bertambahnya umur serta kedewasaannya. Setiap
pribadi dalam kehidupannya selalu mengalami perubahan secara terus menerus oleh
karena itu diperlukan adanya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang ada disekitarnya.
2.
Suasana lingkungan
sosial, lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat sekitar yang
berhubungan dengan proses-proses sosialisasi yang dapat membentuk seseorang
menjadi pribadi yang matang.
Faktor-faktor
tersebut akan mempengaruhi individu dalam
mengekspresikan emosinya dalam perilaku keseharian.
Jenis emosi yang telah disepakati oleh para ahli
sebagai emosi dasar adalah: emosi senang/bahagia ( joy,
الابتهاج ), marah (anger,
الغضب), sedih (sadness,
الحزن), takut (fear,
الخوف), benci/jijik ( disgust,
الاشمئزاز ), dan
heran/kaget (surprise,
المفاجأة ) . Para ahli menyimpulkan
bahwa keenam emosi ini yang diidentifikasi dirasakan oleh semua manusia di
dunia. Emosi-emosi dasar tersebut adakalanya bercampur antara satu dan
yang lain, misalnya antara marah dan benci, heran dan
takut, benci dan rindu, dan sebagainya. Percampuran itu bisa terjadi sangat
variatif sehingga sulit dipilah dan diberi nama,
persis percampuran tiga warna dasar (magenta, biru, kuning) yang memungkinkan
terciptanya nuansa warna tak berhingga.
Keterbangkitan emosi ditandai oleh adanya perubahan
faali (fisiologis) dan terekspresikan dalam bentuk sikap atau tingkah laku. Perubahan faali di saat emosi oleh al-Qur’ân
diindikasikan antara lain dalam bentuk degup jantung (‘wajilat
qulūbuhum’ – Q.S. al-Anfâl [8]: 2, Q.S. al-Hajj [22]: 35), GSR (galvanic
skin response) atau reaksi kulit (‘taqsya‘irru minhu julûd …’ – Q.S.
al-Zumar [39]: 23), reaksi pupil mata (‘tasykhashu fîh al-abshâr’ – Q.S.
Ibrâhîm [14]: 42; Q.S. al-Anbiyâ’ [21]: 97), reaksi pernapasan (‘shadrahû
dhayyiqan’ – Q.S. al-An‘âm [6]: 125, Q.S. al-Hijr [15]: 97, Q.S.
al-Syu‘arâ’ [26]: 13 atau ungkapan seperti ‘balaghat al-qulûb al-hanâjir’
– Q.S. al-Ahzâb [33]: 10). Sedangkan ekspresi yang dapat disaksikan
antara lain wajah berseri-seri bahagia (‘wujûhun yawma’idzin musfirah, dhâhikah
mustabsyirah’ – ‘Abasa [80]: 38-39), wajah hitam pekat atau merah padam (‘wajhuhû
muswaddâ’ – Q.S. al-Nahl [16]: 58; Q.S. al-Zumar [39]: 60; Q.S.
al-Zukhruf [43]: 17), pandangan tidak konsentrasi (‘zâghat al-abshâr’ – Q.S.
al-Ahzâb [33]: 10; Shâd [38]: 63; Q.S. al-Najm [53]: 17), menutup
telinga karena ketakutan (‘yaj’alûna ashâbi‘a-hum fî âdzâni-him min
al-shawâ‘iq hadzara al-mawt’ – Q.S. al-Baqarah [2]: 19), menggigit
ujung jemari (‘adhdhû ‘alaykum al-anâmila min al-ghayzh’ – Q.S. Âlu
‘Imrân [3]: 119), reaksi kinestetis dengan membolak-balik telapak tangan karena
kesal (‘yuqallibu kaffayh’ – Q.S. al-Kahf [18]: 42).
Ekspresi wajah merupakan ekspresi paling umum terjadi
ketika seseorang mengalami peristiwa emosi. Gambaran al-Qur’ân tentang
ekspresi wajah yang berseri-seri atau muram berdebu (Q.S. ‘Abasa [80]: 38-40)
atau ekspresi bagian-bagian dari wajah boleh jadi karena wajah adalah cerminan
jiwa manusia yang bersifat universal dan lintas kultural, dikenali oleh
berbagai etnis di dunia dengan pola-pola yang sama. Ia
bersifat bawaan (heredity) karena ternyata bayi yang terlahir buta tuli
sekalipun mampu melakukannya, meskipun kemudian diperkaya oleh berbagai
pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Menurut Davidoff (1987:327): “We
saw that people everywhere communicate basic emotions with the same facial
expressions and find it easy to identify basic emotions from facial
expressions. We described how young babies, including those born blind and
deaf, use these same expressions to communicate their feelings. The
universality of basic facial expressions suggests that they are programmed into
human beings by heredity.” (Kita menyaksikan bahwa manusia di bagian dunia
manapun mengomunikasikan emosi dasar dengan ekspresi wajah yang sama, dan kita pun mendapatkan bahwa suatu hal yang mudah
untuk mengenali emosi dasar melalui ekspresi wajah. Kita menggambarkan
bagaimana seorang bayi, termasuk mereka yang dilahirkan dalam keadaan buta dan
tuli, menggunakan ekspresi yang sama ini untuk
mengomunikasikan perasaan mereka. Universalitas ekspresi
wajah dasar ini mengisyaratkan bahwa hal itu diprogramkan ke dalam diri manusia
secara turun-temurun).
Emosi
Dasar dalam al-Qur’ân
Kosakata yang berdenotasi emosi tidak dijumpai secara
spesifik di dalam al-Qur’ân, tetapi bertebaran ayat yang berbicara atau
berkaitan dengan perilaku emosi yang ditampilkan manusia dalam berbagai
peristiwa kehidupan.
Ungkapan al-Qur’ân tentang emosi digambarkan langsung
bersama peristiwa yang sedang terjadi. Berbagai peristiwa emosional dijelaskan
oleh al-Qur’ân meskipun topik utamanya (main topic)
bukan masalah emosi. Emosi yang muncul pada umumnya merupakan
gambaran selintas terkait dengan main topic yang sedang dijelaskan atau
diceritakan, sehingga mufasir pun kadang-kadang tidak tertarik untuk
menjelaskan secara rinci hal itu.
Berikut ini akan dijelaskan
emosi-emosi dasar yang diisyaratkan oleh al-Qur’ân dalam kaitannya dengan
sejarah peradaban umat manusia di masa lampau, sikap dan perilaku mereka yang
terus berlangsung, serta gambaran emosi manusia dalam kehidupan di akhirat,
baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (tak dikehendaki).
1.
Emosi
Senang
Emosi senang umumnya didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang membuat kepuasan dalam hidup. “We define happiness as overall satisfaction with
life”. Perasaan senang (cinta, gembira, puas, bahagia) adalah
kondisi-kondisi yang senantiasa didambakan oleh setiap individu apa pun latar belakangnya. Hal yang
mungkin berbeda adalah persepsi terhadap sesuatu yang dapat membuat orang
senang. Sebagian menjadikan ukuran kesenangan itu pada harta yang
melimpah, kesehatan yang prima, jabatan yang bergengsi, atau keluarga yang
rukun dan sejahtera, sementara yang lain pada hal-hal di luar itu. Oleh karena
itu, objek yang dapat membuat orang senang atau bahagia tidak bisa diukur sama untuk semua individu. Namun, secara umum al-Qur’ân menyatakan bahwa manusia memiliki predisposisi
senang kepada wanita (lawan jenis), anak cucu, harta yang melimpah, kendaraan
mewah, dan kekayaan lainnya (Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 14). Ekspresi emosi senang
dijumpai dalam beberapa ayat al-Qur’ân yang dengan
jelas mengungkapkan terjadinya perubahan-perubahan pada wajah menjadi
berseri-seri yang dapat diamati oleh orang lain yang menyaksikannya. Ayat-ayat
al-Qur’ân tersebut misalnya Q.S. al-Insân [76]: 11;
‘Abasa [80]: 38-39; al-Muthaffifîn [83]: 22-24; al-Insyiqâq [84]: 7-9. Q.S.
‘Abasa [80]: 38-39:
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ
مُسْفِرَةٌ ()
ضَاحِكَةٌ
مُسْتَبْشِرَةٌ
()
“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan
gembira ria.” (Q.S. ‘Abasa [80]: 38-39)
Menurut al-Thabarî (1405 H), kata musfirah dalam
ayat tersebut berasal dari asfar, yaitu ungkapan dalam bahasa Arab untuk
menyebut wajah yang cantik (bersinar). Cahaya subuh juga disebut asfar
ketika mulai bersinar, bahkan setiap yang bersinar dikatakan musfir.
Wajah yang musfirah adalah wajah berseri-seri yang
memancarkan sinar kegembiraan karena mendapatkan suatu kenikmatan.
Ungkapan
emosi senang di dalam al-Qur’ân sangat beragam. Senang
meraih kenikmatan dan terhindar dari kesulitan misalnya dijumpai dalam Q.S. Hûd
[11]: 10; al-Rûm [30]: 36; al-Syûrâ [42]: 48; Âlu ‘Imrân [3]: 170; Yûnus [10]:
58; Yûsuf [12]: 33-34. Senang terhadap lawan jenis (Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 14;
al-Rûm [30]: 21; Yûsuf [12]: 30-32), senang terhadap harta (al-Fajr [89]: 20;
al-‘Âdiyât [100]: 8; al-Kahf [18]: 34; al-Ra‘d [13]: 26), senang memberi atau
menerima (al-Hasyr [59]: 9; al-Naml [27]: 36; al-Tawbah [9]: 58-59;
al-Insân [76]: 8-9; al-Nisâ’ [4]: 4). Sementara senang terhadap hasil usaha
(prestasi) dapat dilihat misalnya dalam Q.S. al-Rûm [30]: 2-4; al-An‘âm [6]:
135; Âlu ‘Imrân [3]: 188; Ghâfir [40]: 83. Ada pula bentuk kesenangan yang
menyimpang dari fitrah kemanusiaan, yaitu jika seseorang senang terhadap
kesulitan orang lain (Âli ‘Imrân [3]: 120; al-Tawbah [9]: 50). Jenis yang terakhir ini tentu harus dihindari karena bertentangan
dengan ajaran agama.
Kata fariha
(gembira, senang) yang disebutkan dalam beberapa ayat di atas merupakan
gambaran suasana hati ketika dapat merasakan kepuasan begitu mendapatkan apa yang diinginkan. Demikian pendapat al-Baghawî (1407 H)
yang menyatakan: “الفَرَحُ:
لَذَّةٌ فِى
القَلْبِ
بِنَيْلِ المُشْتَهَى”.
Objek yang menimbulkan emosi senang bersifat sangat
personal. Nabi Yusuf sangat senang ketika doanya terkabul untuk masuk
penjara sebagai usaha menghindari godaan para wanita yang tertarik padanya
(Q.S. Yûsuf [12]: 33-34).
Sedangkan
Q.S. al-Hasyr [59]: 9 turun dalam kasus Abu Thalhah (yang lain
menyebut Tsâbit ibn Qays, atau Abû Nashr Abd al-Rahîm) yang begitu
berempati kepada tamunya ‘pengungsi’ dari kaum Muhajirin. Ia
sendiri kesulitan dalam hidupnya tetapi masih tetap mengutamakan tamunya meski
harus memberikan makanan yang tadinya untuk anak balitanya. Walaupun
ayat ini turun untuk apresiasi terhadap emosi senang yang ditunjukkan seorang
Ansar kepada Muhajirin, namun kondisi itu merata pada hampir semua kaum Anshar.
Faktor senang membantu tamu-tamu itu merupakan gejala umum di
masyarakat Madinah. Mereka memberi apa yang
dibutuhkan oleh tamu-tamunya meskipun sebenarnya mereka juga butuh, termasuk
mereka yang memiliki istri lebih dari satu dengan rela diberikan kepada
tamu-tamu Muhajirin.
Hal yang
kontras terjadi adalah apa yang dijelaskan dalam Q.S.
al-Taubah [9]: 58-59. Ayat ini turun pada kasus Ibn Dzu al-Khuwaysharah
al-Tamimi (atau pada Abu al-Jawaz, atau Abu al-Jawth–ada yang menyebutnya,
munafik), ia memprotes keadilan Rasulullah ketika membagi sedekah dan harta
rampasan perang (ghanîmah, al-fay’) karena ia tidak mendapat bagian. Orang-orang munafik ketika mendapat bagian mereka meluapkan kesenangan,
tetapi ketika tidak, serta-merta mereka menggerutu dan marah. Atau, ketika mendapat banyak amat senang, tapi ketika sedikit
mereka jengkel.
Q.S.
al-Rûm [30]: 2-4 menggambarkan kekalahan dan kemenangan dua kekuatan imperium
di abad VII, Romawi Timur dan Persia (yang mendapat simpati dari kaum musyrik
Mekah). Kemenangan terhadap lawan (tanding) merupakan
prestasi. Sebuah prestasi, apakah diukir sendiri atau
oleh orang yang mendapat simpati dan dukungan kita, membawa kepuasan
tersendiri. Semakin susah prestasi itu
diperoleh, semakin tinggi pula nilai kepuasannya. Menurut
McClelland pada diri manusia terdapat kebutuhan untuk berprestasi yang dikenal
dengan istilah n-Ach (need for achievement).
Senyampang
dengan itu, al-Qur’ân melarang manusia melampiaskan
emosi senangnya dengan berlebih-lebihan, cara-cara yang tak lazim, atau akibat
kesombongan dan maksiat (Q.S. al-Qashash [28]: 76; Ghâfir [40]: 75-76; al-Hadîd
[57]: 23). Larangan mengungkapkan emosi senang yang terdapat
pada 28:76 hendaklah dipahami sebagai emosi senang yang berlebihan dan yang
membawa pada kebanggaan terhadap diri sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh
Qarun ibn Yushar ibn Qahits ibn Lawi. Karena ternyata
harta kekayaan dan pernik-pernik duniawi dapat membangkitkan emosi senang
berlebihan dan dapat menjauhkan manusia dari Allah. Menurut al-Baydhâwî
bahwa ketidaksukaan Allah kepada orang yang mengungkapkan kegembiraannya
(seperti dapat dibaca pada Q.S. al-Qashash [28]: 76) adalah jika dilakukan
secara berlebih-lebihan dan semata-mata dalam hal keduniawian yang menyebabkan
manusia lupa pada eksistensi Tuhan sebagai sumber kesenangan itu. Apalagi jika
ungkapan emosi senang itu terjadi karena kemaksiatan yang dilakukan,
sebagaimana dijelaskan Q.S. Ghâfir [40]: 75.
2.
Emosi
Marah
Emosi marah adalah emosi yang paling dikenal dalam
percakapan sehari-hari, bahkan sering dianggap perilaku marah identik dengan
emosi. Tingkah laku
yang menyertai emosi marah sangat beragam mulai dari tindakan diam atau menarik
diri (withdrawal) hingga tindakan agresif yang dapat mencederai atau
mengancam nyawa orang lain. Pemicunya juga sangat beragam,
dari hal-hal yang sangat sepele sampai pada pelanggaran berat terhadap hak
asasi manusia. Pada umumnya emosi marah pada manusia
dikenali dengan terjadinya perubahan pada raut muka (tegang, merah padam), nada
suara yang berat, anggota badan bergetar, atau sikap siap menyerang. Atau, agresivitas itu tidak menggejala karena disembunyikan dengan
alasan-alasan tertentu.
Faktor penyebab keterbangkitan emosi marah ada yang
bersifat eksternal dan ada pula yang bersifat internal. Faktor eksternal adalah stimuli yang datang dari luar
diri kita, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam seperti cuaca,
gangguan alam, atau yang lain. Sedangkan faktor internal
datang dari dalam diri manusia sendiri atau sering juga disebut sebagai faktor
personal. Orang yang tempramental sangat mudah
tersinggung dan terpancing untuk melampiaskan emosi marahnya ketimbang dengan
orang penyabar. Sikap dan tingkah laku marah dimiliki
oleh semua makhluk, bahkan Allah sebagai al-Khâliq dapat marah (murka).
Allah marah kepada orang yang membunuh manusia tanpa haq,
musyrik, munafik, bersumpah palsu, dan sebagainya.
Gejala-gejala emosi marah yang muncul dalam sikap dan
perilaku manusia yang direkam oleh al-Qur’ân dalam
berbagai peristiwa, ekspresi, dan tindakan. Salah satu di antaranya, Q.S.
al-A‘râf [7]: 150:
وَلَمَّا
رَجَعَ
مُوسَى إِلَى
قَوْمِهِ غَضْبَانَ
أَسِفًا
قَالَ
بِئْسَمَا
خَلَفْتُمُونِي
مِنْ بَعْدِي
أَعَجِلْتُمْ
أَمْرَ
رَبِّكُمْ
وَأَلْقَى
الأَلْوَاحَ
وَأَخَذَ
بِرَأْسِ
أَخِيهِ
يَجُرُّهُ
إِلَيْهِ قَالَ
ابْنَ أُمَّ
إِنَّ
الْقَوْمَ
اسْتَضْعَفُونِي
وَكَادُوا
يَقْتُلُونَنِي
فَلاَ
تُشْمِتْ
بِيَ
الأَعْدَاءَ
وَلاَ تَجْعَلْنِي
مَعَ
الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan
marah dan sedih hati berkatalah dia: ‘Alangkah buruknya perbuatan yang kamu
kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului
janji Tuhanmu?’ Dan Musa pun melemparkan luh-luh
(Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya
ke arahnya. Harun berkata: ‘Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah
menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah
kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku
ke dalam golongan orang-orang yang zalim.”
Ekspresi
emosi marah dalam penuturan al-Qur’ân dijumpai dalam
semua bentuk ekspresi. Pertama, ekspresi marah dengan perubahan pada
raut muka dijumpai misalnya dalam Q.S. al-Nahl [16]: 58-59; al-Zukhruf
[43]: 7 (ketika orang-orang jahiliah mendapatkan bayi perempuan). Kedua,
ekspresi marah dengan kata-kata diungkapkan Q.S. Thaha [20]: 86; al-Qalam [68]:
48; al-Anbiyâ’ [21]: 87-88 (peristiwa Nabi Musa yang kesal kepada saudaranya,
Harun; dan peristiwa Nabi Yunus yang kesal kepada kaumnya lalu pergi menjauh
dan kemudian ditelan ikan–kekesalan berganda). Ketiga, ekspresi emosi dengan
tindakan dapat dibaca pada Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 119; al-A‘râf [7]: 150
(orang-orang kafir musyrik menggigit jari-jemarinya karena marah yang bercampur
benci kepada kaum Muslimin; dan peristiwa Nabi Musa melempar prasasti/alwâh
ketika menjumpai kaumnya menyembah al-‘ijl). Keempat, ekspresi
marah dengan diam digambarkan misalnya oleh Q.S. Yûsuf [12]: 84-85; 12:77 (Nabi
Ya’qub berpaling dari anak-anaknya yang bersekongkol ‘membunuh’ Yusuf; dan
Yusuf menahan marah atas fitnah saudara-saudaranya kepada dirinya).
Betapa banyak peristiwa emosi marah yang selalu kita
saksikan dalam kehidupan sehari-hari akibat dari tidak tercapainya sesuatu yang
diinginkan. Orang bisa berteriak, memaki, membentak, menendang, menempeleng,
menggebrak meja, membanting gelas, menggerutu, melotot, atau tindakan lainnya
hanya karena harapannya tak kesampaian. Rekaman peristiwa di dalam al-Qur’ân telah mencatat aneka macam tingkah laku manusia
ketika berbagai keinginannya gagal tercapai. Ada yang memutarbalikkan fakta
untuk mencelakakan orang yang menjadi penghalang harapan-harapannya itu (Q.S.
Yûsuf [12]: 25-28). Ada yang mengajak perang tanding untuk menampilkan
kehebatan yang dimilikinya agar dapat disaksikan oleh khalayak (Q.S. Thaha
[20]: 63-70). Ada pula yang berusaha mengusir orang yang menjadi perintang
keinginan-keinginan mereka dengan deportasi ke luar negeri mereka (Q.S. al-Naml
[27]: 54-56). Dan, aneka respons emosional yang muncul di saat harapan tak
kesampaian: menggerutu kalau hanya mendapat sedikit bagian zakat (Q.S.
al-Tawbah [9]: 58); kesal kalau dzikrullâh mendominasi percakapan (Q.S.
al-Zumar [39]: 45); jengkel yang melanda orang kafir ketika tak mampu
memperdayakan dan mengalahkan orang mukmin padahal jumlah personel dan
teknologi perang mereka lebih unggul (Q.S. al-Ahzâb [33]: 25).
Keterbangkitan (arousal) emosi marah
kadang-kadang bermula dari percakapan biasa, tawa canda yang kemudian
menyerempet ke harga diri, hingga provokasi yang disengaja untuk membangkitkan
emosi marah. Harga diri (self esteem), pembelaan pada simbol identitas,
dan perebutan teritori adalah hal yang paling sering memunculkan emosi marah.
Fir‘aun merasa kekuasaannya dilecehkan lalu memprovokasi masyarakat untuk
mengirimkan pemberaninya melawan Musa dan pengikutnya (Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]:
53-55).
Personifikasi juga terjadi dalam menggambarkan emosi
marah. (Personifikasi
sering muncul karena gaya bahasa al-Qur’ân yang
puitis, meskipun ia bukan buku sastra. Bertanya pada negeri “…وَاسْأَلِ
الْقَرْيَةَ” [Q.S. Yûsuf [12]: 82], benda-benda angkasa termasuk
planet-planet patuh kepada Tuhannya [Q.S. al-Insyiqâq [84]: 2,5],
langit dan bumi tidak menangisi mereka [Q.S. al-Dukhân [44]: 29], adalah
contoh-contoh personifikasi al-Qur’ân yang harus dipahami sesuai dengan
konteksnya). Q.S. al-Mulk [67]: 6-8 dan al-Furqân
[25]: 12 menggambarkan tentang kegeraman neraka ketika dimasuki para pendosa.
Menurut Ibn Katsir, kemarahan neraka digambarkan hampir-hampir memisahkan
bagian demi bagian akibat amarah yang dahsyat kepada penghuninya.
3.
Emosi Sedih
Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak selamanya
manusia bergembira, adakalanya juga bersedih. Sedih karena gagal meraih sukses, mendapat kesulitan,
ditinggal orang yang dicintai, atau sebab yang lain. Begitulah kehidupan
terjadi silih berganti (Q.S. Âlu ‘Imrân [3]: 140). Tertawa
atau menangis sudah merupakan bawaan (naluri, gharîzah) karunia dari
Allah. Dari sejak lahir manusia sudah pandai menangis
dan tersenyum. Setelah mulai menapaki kehidupan orang
belajar dari lingkungannya kapan tempatnya tertawa dan kapan pula menangis.
Q.S. al-Najm [53]: 43 menjelaskan:
وَأَنَّهُ
هُوَ
أَضْحَكَ
وَأَبْكَى
“Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa
dan menangis.”
Kesedihan memang sesuatu yang tidak diharapkan, tetapi
senang atau tidak senang, pasti mampir juga dalam perjalanan hidup manusia. Rasulullah saw. sendiri
pernah mengalami kesedihan bertubi-tubi, antara lain ditinggalkan oleh
orang-orang yang dikasihinya dalam selang waktu relatif singkat, sehingga tahun
kejadian itu dikenal dalam sejarah sebagai âm al-huzn (tahun
kesedihan, tahun 619 H). Cobaan yang dialaminya cukup berat
sampai tiba saatnya mendapat kelapangan (al-insyirâh, enlightenment,
pencerahan). Kesedihan berganti dengan kebahagiaan,
beban berat terlewati, dan memang sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.
Sungguh! (Q.S. al-Insyirâh [94]: 1-8).
Pada umumnya, yang kita kenali dalam ekspresi emosi
sedih adalah tangis. Akan tetapi, tidak berarti bahwa setiap orang yang menangis pasti
bersedih, karena ternyata ada tangis bahagia, tangis haru, atau bahkan ada
tangis pura-pura seperti terjadi pada kisah saudara-saudara Yusuf.
Ekspresi lain adalah raut wajah yang menggambarkan
suasana hati ketika sedang bersedih: dingin, pucat, pandangan lesu, tanpa
senyum, tidak bergairah.
Beberapa
ayat al-Qur’ân menjelaskan model-model ekspresi emosi
sedih yang diperankan oleh manusia. Pertama, ekspresi emosi sedih dengan
cucuran air mata yang memancarkan perasaan yang dialami (Q.S. al-Tawbah [9]:
92); kedua, tangis yang dibuat-buat untuk memberi kesan kesedihan atau
sandiwara (Q.S. Yûsuf [12]: 15-16); ketiga, ekspresi sedih dalam bentuk
perilaku menarik diri (withdrawal, tawallâ) disertai mata yang
berkaca-kaca (Q.S. Yûsuf [12]: 84-86).
Pada umumnya, kesedihan muncul ketika seseorang ditimpa
kesulitan, kemalangan, atau kondisi-kondisi yang sangat tak diharapkan lainnya. Penyebab kesedihan pasti akan
mampir dalam setiap kehidupan manusia, hanya tinggal bagaimana orang itu
memaknai setiap peristiwa yang dialaminya, lihat Q.S. Fushshilat [41]: 49;
al-Ma‘ârij [70]: 19-22; Ghâfir [40]: 18; al-Zukhruf [43]: 17; Shâd [38]: 27;
Âlu ‘Imrân [3]: 191. Orang mukmin sejati yang senantiasa memelihara
ketakwaannya sangat pandai memaknai setiap peristiwa yang terjadi sehingga
mereka tidak mudah larut dalam kesedihan atau keputusasaan (Q.S. al-An‘âm [6]:
48; Yûnus [10]: 62-63; al-Ahqâf [46]: 13; al-Zumar [39]: 61; al-A‘râf
[7]: 35; al-Baqarah [2]: 122, 277). Kalaupun ada orang mukmin bersedih, hal itu
karena ia tidak mampu memaksimalkan kebaikan yang
seharusnya bisa dilakukannya (Q.S. al-Tawbah [9]: 92) seperti pada Kelompok
Tujuh atau Kelompok al-Bakkâ’ûn (orang-orang yang mencucurkan air mata
sedih karena gagal berpartisipasi dalam suatu perang jihad yang mereka
rindukan).
4.
Emosi
Takut
Emosi takut merupakan salah satu emosi yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, karena berperan untuk mempertahankan diri dari
berbagai masalah yang dapat mengancam kehidupan itu sendiri. Emosi takut manusia dalam penuturan al-Qur’ân mempunyai cakupan yang luas. Bukan
hanya gambaran ketakutan di dunia ini seperti ketakutan pada kelaparan,
kehilangan jiwa dan harta, bencana alam, melainkan juga menyangkut ketakutan
pada kesengsaraan hidup di akhirat. Hal ini menjadi
pembeda yang tegas antara orang beriman yang percaya pada kehidupan akhirat
dengan yang tidak. Ketakutan pada orang beriman juga
menjadi ajang promosi baginya untuk mencapai suatu predikat tertentu dalam
pandangan Allah. Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 155 (juga Q.S.
al-Nahl [16]: 112)
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ
مِنَ الْخَوْفِ
وَالْجُوعِ
وَنَقْصٍ
مِنَ
الأمْوَالِ
وَالأنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ
وَبَشِّرِ
الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.”
Manfaat
emosi takut menurut perspektif al-Qur’ân tidak hanya
untuk menjaga manusia dari berbagai bahaya yang mengancam kehidupannya di dunia
ini, tetapi juga mendorong setiap mukmin untuk memelihara dirinya dari azab
Allah di akhirat. Kehidupan akhirat meskipun time response-nya
lama, tetapi pasti sebagaimana pastinya kematian itu sendiri.
Sebenarnya, pada diri manusia terdapat mekanisme pertahanan diri sehingga
segala sesuatu yang dapat mengancam dirinya akan
dihindarkan atau dia yang menghindar. Menghindar dapat berupa
kesengajaan atau tindakan refleks yang bersifat spontanitas terhadap ancaman
yang bersifat sekonyong-konyong. Manusia akan
selalu melakukan adaptation (adaptasi, penyesuaian diri dengan
lingkungan) atau adjustment (penyesuaian lingkungan menurut yang dikehendaki)
terutama terhadap hal-hal yang berpotensi mengancam jiwa.
Perubahan
tingkah laku karena emosi takut umumnya diekspresikan dalam bentuk perubahan
pada raut muka menjadi pucat pasih, berteriak histeris (scream), loncat
dan berlari, merunduk, menutup telinga, menghindar, atau tindakan lain.
Perubahan faali dapat terjadi berupa denyut nadi meningkat, jantung
berdebar-debar, pandangan mata kabur, keluar keringat dingin, persendian
terasa lemas. Ekspresi berupa tingkah laku antara lain seperti menutup telinga
ketika mendengar petir dan kilat yang menyambar-nyambar (Q.S. al-Baqarah [2]:
19), mengungsi karena takut perang (Q.S. al-Baqarah [2]: 243). Ketakutan yang
muncul pada hubungan intrapersonal biasanya terjadi ketika mengingat peristiwa
masa lampau yang tersimpan di dalam memori (Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]: 14;
al-Qashash [28]: 18; Âlu ‘Imrân [3]: 151; al-Rûm [30]: 28). Sedangkan emosi
takut yang muncul pada hubungan dengan orang lain (interpersonal) baik
perorangan maupun kelompok (Q.S. Thaha [20]: 67-68; al-Syu‘arâ’ [26]: 21; Shâd
[38]: 22; Thaha [20]: 40-46, 77; al-Nisâ’ [4]: 77,101; al-Anfâl [8]: 26;
al-Mâ’idah [5]: 21-22; Yûnus [10]: 83).
Dari ayat-ayat itu tampak jelas adanya kesan ketakutan
terhadap manusia, dalam hal ini penguasa yang lalim, kelompok tirani yang perkasa
(qawm jabbârîn), dan serdadu-serdadu yang menjadi mesin perang. Akan tetapi, kemudian Allah memberi
peneguhan kepada orang-orang beriman untuk berani melawan kebatilan siapapun
pelakunya, dan menegakkan yang haq sesudahnya. Perbedaan-perbedaan yang ada pada manusia menyangkut ideologi,
agama, etnis, dan perbedaan lainnya dapat menjadi potensi konflik antarmanusia
yang menimbulkan emosi takut, baik yang terlibat langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu, al-Qur’ân mereduksi
potensi konflik itu dengan mengajak semua pihak yang memiliki perbedaan tadi
untuk saling mengenal (Q.S. al-Hujurât [49]: 13), dan kemudian saling
menghormati. Kalaupun terjadi konflik antarorang perorang segera didamaikan
sebelum menjadi perang besar antarkelompok (Q.S. al-Hujurât [49]: 9-10).
Pencegahan
dini sebagaimana dimaksud oleh al-Qur’ân itu diperlukan karena ketika massa terlibat pada suatu masalah terkadang sulit
dikendalikan. Jiwa individu ketika berada di tengah-tengah massa
lebur menjadi jiwa massa. Gejala seperti ini dalam psikologi dikenal dengan
istilah deindividuation..
Dan ternyata berdasarkan berbagai eksperimen, deindividuation
ini potensial menjadi pemicu agresi. Dalam bahasa Feldman (1985:316), “deindividuation
is also a potential cause of aggression, and this fact has been shown in a
number of experiments.”
Emosi
takut dalam kaitannya dengan hubungan metapersonal digambarkan al-Qur’ân dalam dua term, yaitu: al-khawf
(الخوف) dan al-khasyyah
(الخشية), selain term taqwâ yang sering
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan takut (yang sesungguhnya tidak
pas). Sebagian ulama tafsir membedakan kedua term itu (al-khawf
dan al-khasyyah), sementara yang lainnya menganggapnya sinonim saja.
Jika dicermati ayat-ayat yang menggunakan term al-khawf (seperti Q.S.
Ibrâhîm [14]: 14; Q.S. al-Sajdah [32]: 16) tampaknya lebih umum dan intensitas
ketakutan itu lebih ringan jika dibandingkan dengan pada term al-khasyyah (seperti
Q.S. Yâsin [36]: 11; al-Mulk [67]: 12). Takut kepada bencana alam maupun
bencana hari kiamat juga selalu menggunakan term al-khawf (seperti Q.S.
al-An‘âm [6]: 15; al-A‘râf [7]: 59; Yûnus [10]: 15; Hûd [11]: 3, 26, 84, 103;
al-Isrâ’ [17]: 57; al-Nûr [24]: 37, 50).
5.
Emosi
Benci
Mekanisme pertahanan hidup manusia melahirkan berbagai
tingkah laku dan berbagai jenis emosi. Emosi benci, seperti halnya emosi
takut, dapat mengantar manusia untuk melestarikan hidupnya. Hanya saja, emosi benci itu kadang-kadang tidak tepat sasaran jika
terarah pada hal-hal yang seharusnya tidak dibenci. Bahkan, menurut al-Qur’ân ada hal-hal yang sering dibenci oleh manusia, tetapi
ternyata sangat bermanfaat baginya. Atau sebaliknya, disenangi tetapi membawa
efek negatif baginya (Q.S. al-Baqarah [2]: 216; al-Nisâ’ [4]: 19).
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ
الْقِتَالُ
وَهُوَ كُرْهٌ
لَكُمْ
وَعَسَى أَنْ
تَكْرَهُوا
شَيْئًا
وَهُوَ
خَيْرٌ
لَكُمْ
وَعَسَى أَنْ
تُحِبُّوا شَيْئًا
وَهُوَ شَرٌّ
لَكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنْتُمْ
لاَ
تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu
adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Emosi kebencian dan ketidaksenangan manusia,
sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat al-Qur’ân, umumnya mengarah pada
kebencian terhadap kebenaran yang datang dari Allah SWT. berupa wahyu itu sendiri,
keharusan untuk taat, berjihad, berinfak, dan sebagainya. Kalau
dibandingkan dengan jumlah ayat yang menerangkan tentang emosi senang di dalam
al-Qur’ân, maka emosi benci jauh lebih kecil jumlahnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pendekatan al-Qur’ân sebenarnya
lebih cenderung pada pendekatan reward (ganjaran, targhîb)
daripada punishment (hukuman, ancaman, tarhîb).
Keberpihakan
Allah terhadap kebaikan merupakan salah satu cara
memotivasi manusia untuk selalu dalam kebaikan dan membenci hal-hal yang buruk
dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Dalam banyak
ayat, Allah SWT. sering kali menutup sebuah
ayat dengan menyatakan ketidaksenangannya pada keburukan itu. Allah tidak
senang pada: kerusakan dan orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al-Baqarah
[2]: 205; al-Maidah [5]: 64; al-Qashash [28]: 77), keterlaluan atau melampaui
batas (Q.S. al-Baqarah [2]: 190; al-Mâ’idah [5]: 87; al-A‘râf [7]: 31),
berfoya-foya, mubazir, isrâf (Q.S. al-An‘âm [6]: 141; al-A‘râf [7]: 31),
suka berkhianat (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 107; al-Anfâl [8]: 58; al-Hajj [22]:
38), sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 36; al-Nahl
[16]: 23; Luqmân [31]: 18; al-Hadîd [57]: 23), lupa daratan karena
kelewat gembira (al-Qashash [28]: 76), mengingkari kebenaran, kafir (Q.S.
al-Baqarah [2]: 276; Âlu ‘Imrân [3]: 32; al-Rûm [30]: 45), berbuat aniaya,
zalim (Âlu ‘Imrân [3]: 57, 140; al-Syûrâ [42]: 40), suka berkata-kata kasar
(al-Nisâ’ [4]: 148).
Ekspresi
emosi benci yang digambarkan oleh al-Qur’ân adakalanya
bersifat spontanitas dan adakalanya pula tidak spontanitas. Ekspresi yang
tidak spontanitas itu sejatinya hanya tertunda karena mungkin ada faktor
takut atau hal lain jika diekspresikan pada saat itu
juga. Emosi benci yang spontan dan yang tidak spontan masing-masing dapat
dilihat dalam Q.S. al-Isrâ’ [17]: 46 dan Âlu ‘Imrân [3]: 119-120.
Kebenaran
dari Allah digambarkan oleh al-Qur’ân dalam banyak
ayat sering kali mendapat penolakan dengan ekspresi kebencian dan
ketidaksenangan dari sebagian manusia. Selalu ada upaya
sistematis dan terus-menerus untuk menghancurkan kebenaran dari Allah itu.
Dalam ungkapan al-Qur’ân misalnya disebutkan ‘mereka ingin memadamkan cahaya
dari Allah’, dan sebagainya (Q.S. al-Tawbah [9]: 32-33; al-Shaff [61]: 8-9;
Yûnus [10]: 82; al-Anfâl [8]: 8; al-Mu’minûn [23]: 70; al-Zukhruf [43]: 78; Muhammad
[47]: 9, 26, 28; al-Zumar [39]: 45). Demikian juga ketidaksenangan pada
perilaku kebaikan misalnya pada infak (Q.S. al-Tawbah [9]: 53-54), pada jihad
(Q.S. al-Anfâl [8]: 5; al-Baqarah [2]: 216; al-Tawbah [9]: 81-82), ketaatan
beribadah (Q.S. al-Ra‘d [13]: 15), keikhlasan dalam mengabdi (Q.S. Ghâfir [40]:
14).
Emosi benci terhadap perilaku seseorang kadang-kadang
sulit dipisahkan dengan pelakunya. Ketika kita benci pada perilaku
menggunjing (ghîbah), maka kita pun tak senang pada orang yang suka ghîbah
itu. Atau sebaliknya, sering kali orang benci pada
seseorang membawa pula ketidaksenangan pada segala yang berhubungan dengan
orang itu. Tertawanya orang yang tak kita senangi
terdengar pula tak enak di telinga. Ketidaksenangan
orang kafir pada ajaran Allah berdampak kebencian kepada pembawa risalah
(rasul). Hal ini yang dialami oleh para rasul sebagaimana banyak
disinyalir oleh al-Qur’ân, seperti dijelaskan Q.S. al-A‘râf [7]: 88 dalam kasus
Nabi Syu‘aib.
6.
Emosi
Heran dan Kaget
Emosi heran dan kaget berada pada garis kontinum yang sama. Pada peristiwa heran terdapat
sangkaan di luar yang dibayangkan terjadi, merasa ganjil ketika mengindera
sesuatu, atau di luar kebiasaan. Sedangkan pada
peristiwa kaget emosi terjadi dengan sangat tiba-tiba, terperanjat atau
terkejut karena heran yang tiba-tiba. Intensitas emosi
pada peristiwa kaget lebih dalam dibandingkan dengan emosi pada peristiwa
heran. Akibatnya, perubahan fisiologis pada emosi
kaget juga lebih tinggi, seperti denyut jantung yang lebih cepat, pernafasan
yang berat, dan sebagainya. Emosi heran dan kaget
diperlukan dalam konstelasi kehidupan manusia, karena hal itu memberi
peringatan dan pewaspadaan terhadap sesuatu yang dapat mengancam kehidupan.
Sesuatu yang tak lazim sekonyong-konyong muncul atau dijumpai
di sekitar kita perlu diwaspadai kalau-kalau hal itu berbahaya bagi kehidupan.
Di dalam al-Qur’ân, ekspresi heran dan kaget muncul
dalam sejumlah ayat sebagai fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan
manusia ketika berhadapan dengan objek di lingkungannya, baik lingkungan alam
maupun lingkungan personal (sosial). Bahasa yang sering digunakan al-Qur’ân
adalah takjub yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Seperti
halnya kurva normal, kehidupan ini selalu disertai oleh keganjilan, sebagian
ganjil negatif dan sebagian lagi ganjil positif. Orang yang buruk rupa
dan memiliki multihandicapped dapat dikategorikan sebagai ganjil
negatif, sementara yang sangat cantik atau ganteng dan nyaris tanpa cacat
sebagai ganjil positif. Anak yang terbelakang mental (idiot) biasanya dianggap
sebagai anak luar biasa (ke bawah), sementara yang jenius pun disebut anak luar
biasa (ke atas).
Emosi kaget (heran, takjub) yang dialami oleh manusia
pada umumnya diekspresikan dengan berteriak spontan, terperanjat, mata
membelalak, merinding, merunduk, latah, meneteskan air mata, menertawai, diam
seribu bahasa, termangu, terpesona, dan sebagainya. Ekspresi heran dan kaget ini juga telah digambarkan di
dalam al-Qur’ân dengan sangat spektakuler, misalnya
Q.S. Yûsuf [12]: 31:
فَلَمَّا
سَمِعَتْ
بِمَكْرِهِنَّ
أَرْسَلَتْ
إِلَيْهِنَّ
وَأَعْتَدَتْ
لَهُنَّ مُتَّكَأً
وَءَاتَتْ
كُلَّ
وَاحِدَةٍ
مِنْهُنَّ
سِكِّينًا
وَقَالَتِ
اخْرُجْ
عَلَيْهِنَّ
فَلَمَّا
رَأَيْنَهُ
أَكْبَرْنَهُ
وَقَطَّعْنَ
أَيْدِيَهُنَّ
وَقُلْنَ
حَاشَ
لِلَّهِ مَا
هَذَا
بَشَرًا إِنْ هَذَا
إِلاَّ
مَلَكٌ
كَرِيمٌ
“Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan
mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat
duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk
memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): ‘Keluarlah (nampakkanlah
dirimu) kepada mereka.’ Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum
kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata:
‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.”
Di alam ini terkandung banyak hal atau peristiwa
misteri, tidak atau belum diketahui secara pasti mengapa hal itu terjadi. Dengan curiosity
(keingintahuan) yang ada pada manusia sedikit demi sedikit misteri itu tersibak
melalui pengalaman-pengalaman atau penelitian-penelitian. Di kalangan sufi dikenal istilah tersingkapnya kasysyâf (tirai
selubung) yang menyelimuti hakikat sesuatu ketika pengalaman dan latihan (riyâdhah,
exercise) mencapai maqâm (tingkat) tertentu.
Apabila
diklasifikasi berbagai peristiwa dalam kehidupan ini, maka dapat dikatakan ada
tiga pewilayahan: Pertama, wilayah terang (putih), yaitu hal atau
peristiwa yang telah dapat diterangkan secara jelas tentangnya, tanpa ragu. Kedua, wilayah gelap (hitam), yaitu yang masih misterius
bagi manusia, belum dapat dijelaskan. Dan ketiga,
wilayah bayang-bayang (abu-abu), sesuatu yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan
dengan memuaskan meskipun sebagian daripadanya telah mulai tersibak.
Contoh, bagi orang yang belum pernah melihat besi berani (magnet, besi yang
mengandung muatan listrik) sebelumnya akan
terheran-heran ketika menyaksikan magnet itu dapat menggaet potongan besi lain
di dekatnya. Baginya, magnet itu masih berada dalam wilayah
hitam. Sementara para ahli fisika dan yang telah mendapat penerangan
tentang teori dan cara kerja magnet itu berarti telah
menjadikannya wilayah terang baginya.
Ayat-ayat
yang menerangkan tentang adanya peristiwa yang mengherankan (menakjubkan) terjadi
di luar kebiasaan antara lain: emosi heran berkenaan dengan malaikat (Q.S. Hûd
[11]: 70), berkenaan dengan jin (Q.S. al-Jinn [72]: 1), berkenaan dengan
manusia (Q.S. Shâd [38]: 22), berkenaan dengan hewan (Q.S. al-Kahf [18]: 63),
berkenaan dengan tumbuh-tumbuhan (Q.S. al-Wâqi‘ah [56]: 63-65, lihat lebih
lanjut 68:17-33), dan emosi heran berkenaan dengan sejarah masa lalu (misalnya
Q.S. al-Kahf [18]: 9; al-Baqarah [2]: 258).
Kemampuan
dan kehebatan luar biasa yang dimiliki seseorang dapat mengundang keheranan
(takjub, ta‘ajjub) dari orang lain. Kehebatan itu,
sebagaimana dapat dibaca dari ayat-ayat al-Qur’ân, misalnya para pembawa
risalah Allah yang memiliki kemampuan lebih dibanding dengan manusia pada
umumnya (komunikasi melalui wahyu dengan Allah, mukjizat, integritas pribadi
yang prima). Kelebihan lain yang juga dapat membuat
orang heran adalah bentuk fisik, harta kekayaan, dan anak keturunan, jika hal
itu tidak lazim dari biasanya menurut ukuran normal. Q.S. Qâf [50]: 2 merujuk
pada ekspresi keheranan yang ditunjukkan orang yang tak percaya atau ragu
tentang kemungkinan seorang manusia menjadi pembawa risalah dari Allah. Menurut al-Baydhâwî, ekspresi keheranan itu terjadi karena
ketakpercayaan pada manusia biasa dari jenis mereka dapat menerima wahyu.
Yang mereka harapkan adalah dari malaikat sebagaimana harapan
orang-orang tua mereka sebelumnya. Ekspresi heran terhadap kemampuan
diri sendiri tergambar dalam Q.S. Hûd [11]: 72-73 ketika istri Nabi Ibrahim
yang sudah menopause diberitakan akan melahirkan
seorang anak. Kata ‘ajûz dalam bahasa Arab diartikan
sebagai nenek yang telah renta. Dalam kitab Tafsîr al-Baydhâwî
dijelaskan usia pasangan itu masing-masing sudah mencapai 90 atau 99 tahun
(istri) dan 100 atau 120 tahun (iii,246).
Pengendalian
Emosi
Kehidupan manusia selalu mengalami ritme yang
berbeda-beda, ada saatnya mendapatkan kenikmatan lalu merasa bahagia, tetapi di
saat yang lain mengalami musibah lalu bersedih. Aneka
ekspresi yang muncul dalam menanggapi berbagai situasi yang dialami itu
sesungguhnya memperkaya kehidupan itu sendiri. Tak
terbayangkan dalam pikiran seandainya pada semua yang dialami manusia muncul
hanya satu jenis ekspresi emosi, misalnya bahagia terus-menerus atau sedih
sepanjang masa, tentu tak nikmat. Morgan et al. (1986:310),
memberi komentar menarik tentang hal ini sebagai berikut:
Life would be dreary without such feelings. They add
color and spice to living; they are the sauce which adds pleasure and
excitement to our lives. We anticipate our parties and dates with pleasure; we
remember with a warm glow the satisfaction we got from getting a good grade;
and we even recall with amusement the bitter disappointments of childhood. On
the other hand, when our emotions are too intense and too easily aroused, they
can easily get us into trouble. They can warp our judgment, turn friends into
enemies, and make us as miserable as if we were sick with fever. (Hidup akan
menjadi kering tanpa adanya berbagai perasaan atau emosi. Perasaan atau emosi
itu menambah warna dan bumbu bagi kehidupan; ia merupakan ‘saus’ yang menambah
nikmatnya kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan. Kita menanti datangnya
pesta dan kencan dengan senang hati; kita mengenang dengan bangga pada kepuasan
yang kita rasakan saat mendapatkan nilai yang bagus; dan kita bahkan mengingat
dengan penuh geli saat-saat mengecewakan dari masa kecil kita. Di sisi lain,
ketika emosi kita terlalu berlebih dan terlalu mudah terpancing, ia dapat
dengan mudah membawa kita ke dalam masalah. Emosi dapat membengkokkan penilaian
kita, mengubah teman jadi lawan, dan menjadikan kita sengsara ketika kita
terkena sakit demam).
Benar, emosi memang menjadi bumbu
kehidupan, tetapi ketika emosi memuncak tak terkendali dan atau berlangsung
dalam waktu lama, maka kemungkinan timbul masalah yang runyam dalam kehidupan
fisik maupun psikis. Emosi yang sangat dalam dapat menyebabkan terganggunya
mekanisme faali, sistem kimiawi tubuh, dan memunculkan ketegangan-ketegangan
yang merusak tatanan equilibrium (homeostatis) yang senantiasa menjaga
keseimbangan dalam diri manusia. Al-Qur’ân mengidentifikasi berbagai
kemungkinan penyebab emosi yang dapat merusak tatanan mekanisme fisik dan
psikis itu, misalnya: ketakutan yang amat dahsyat (fobia), kelaparan,
kehilangan harta dan anggota keluarga secara tiba-tiba (Q.S. al-Baqarah [2]:
155), terlampau gembira (euforia) karena memperoleh harta melimpah (Q.S.
al-Qashash [28]:76), berputus ada dari rahmat Allah (Q.S. al-Zumar [39]: 53,
12: 87), dan sebagainya.
Ada
beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap akibat buruk dari emosi
berlebihan, antara lain:
a.
Tetap konsisten (istiqâmah) dalam
kebenaran (al-haqq). Permohonan yang selalu kita sampaikan kepada
Allah adalah tetap berada pada shirâth al-mustaqîm (Q.S. al-Fâtihah
[1]: 6), tidak mengikuti langkah-langkah setan dan orang-orang yang telah
disesatkannya, karena hal itu selalu membawa kepada kemungkaran.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ
ءَامَنُوا
لَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ
وَمَنْ
يَتَّبِعْ
خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ
فَإِنَّهُ
يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ
وَلَوْلَا
فَضْلُ
اللَّهِ
عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ
مَا زَكَا
مِنْكُمْ
مِنْ أَحَدٍ
أَبَدًا وَلَكِنَّ
اللَّهَ
يُزَكِّي
مَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti
langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan
perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya
tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak
seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Lihat pula Q.S. al-Baqarah [2]: 168, 208; al-An‘âm
[6]: 142)
Satu hal paling sering membuat manusia
waswas, guncang, tidak dalam kondisi tenang, yaitu ketika orang itu tidak
konsisten dalam menjalani kebenaran, tetapi membiarkan dirinya melanggar aturan
(hukum) mengikuti langkah-langkah setan. Semakin berat akibat hukum yang
ditimbulkan suatu perbuatan semakin berat pula tingkat ketidaktenangannya.
Pantas apabila Rasulullah saw. memberi indikasi perbuatan dosa dengan adanya
ketidaktenangan (waswas) dalam hati dan takut diketahui orang lain:
البر حسن
الخلق و الإثم
ماحاك فى صدرك
وكرهت أن يطلع
عليه الناس
“Kebaikan itu adalah kesempurnaan
akhlak, sedangkan dosa adalah apa yang membuat hatimu waswas (bergejolak) dan
kamu tak senang jika orang lain mengetahuinya.” (H.R. Muslim).
Konsistensi dalam menjalankan
kebenaran dari Allah baik dalam sikap maupun perbuatan akan mengeliminasi kekhawatiran
dan kesedihan dalam hidup, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam
Q.S. al-Ahqâf [46]: 13 (lihat juga Fushshilat [41]: 30).
إنَّ
الَّذِينَ
قَالُوا
رَبُّنَا
اللَّهُ ثُمَّ
اسْتَقَامُوا
فَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَِ
“Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.”
b.
Berpikir positif dan bersikap
realistis dalam menerima apa pun yang datang dari Allah sebagai bagian dari perjalanan
hidup. Allah menguji manusia dengan berbagai ujian (balâ’) untuk
mengetahui siapa yang mampu bersabar dan siapa yang tidak, sebagaimana dipahami
dari Q.S. al-Baqarah [2]: 155-156; Muhammad [47]: 31, bahkan kehidupan
dan kematian pun merupakan cobaan (Q.S. al-Mulk [67]: 2). Berpikir positif dan
bersikap realistis terhadap kenyataan hidup, baik yang menyenangkan maupun yang
menyedihkan, ditandai oleh mekanisme syukur-sabar. Banyak di antara manusia
yang tidak mampu mengontrol dirinya ketika menghadapi kenyataan hidup, baik
yang menyenangkan maupun yang menyedihkan (Q.S. al-Ma‘ârij [70]: 20-21; Yûnus
[10]: 12; al-Isrâ’ [17]: 83; Fushshilat/41:49-51). Dalam Q.S. al-Ma‘ârij
tersebut telah pula dijelaskan siapa yang mampu mengendalikan (mengontrol)
diri, antara lain karena telah terlatih dalam menjalankan pengabdian yang
menghasilkan sikap dan perilaku syukur dan sabar. Orang yang bersikap dan
berperilaku syukur jika mendapatkan karunia tidak serta-merta lupa daratan,
tetapi ia memaknai sebagai karunia dari Allah yang juga menjadi ujian baginya.
Q.S. al-Naml [27]: 40 mengisyaratkan hal ini.
قَالَ
الَّذِي
عِنْدَهُ
عِلْمٌ مِنَ
الْكِتَابِ
أَنَا
ءَاتِيكَ
بِهِ قَبْلَ
أَنْ يَرْتَدَّ
إِلَيْكَ
طَرْفُكَ
فَلَمَّا
رَآهُ مُسْتَقِرًّا
عِنْدَهُ
قَالَ هَذَا
مِنْ فَضْلِ
رَبِّي
لِيَبْلُوَنِي
ءَأَشْكُرُ أَمْ
أَكْفُرُ
وَمَنْ
شَكَرَ
فَإِنَّمَا
يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ
وَمَنْ
كَفَرَ
فَإِنَّ رَبِّي
غَنِيٌّ
كَرِيمٌ
“Berkatalah seorang yang mempunyai
ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya,
iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku
bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur
untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
Sementara apabila mendapat musibah
ia bersikap dan berperilaku sabar dan memaknainya bahwa segala sesuatu berasal
dari Allah dan akan kembali kepada-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 155-157). Sabar
harus dalam kesempatan pertama (al-shadmah al-ûlâ, benturan pertama)
c.
Mengatasi masalah agar tidak
berkembang menjadi lebih buruk. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk
mengurangi ketegangan emosional misalnya menarik napas panjang, berteriak,
katarsis. Agama mengajarkan untuk pergi berwudhu, dzikrullâh, relaksasi,
dan sebagainya. Dua terakhir paling mudah dilakukan:
1.
Dzikrullâh
Mengingat Allah (dzikrullâh)
dalam kondisi emosi memuncak (arousal) termasuk dalam kategori pengalihan
emosi (replacement) kepada objek lain yang memungkinkan meredam efek
negatifnya. Meskipun model replacement ini banyak ragamnya, dzikrullâh
termasuk yang paling mudah dilakukan dan dalam banyak hal sangat efektif,
terutama mereka yang sudah terlatih untuk itu. Berkenaan dengan hal ini, Allah
menjelaskan di dalam Q.S. al-Ra‘d [13]: 28 sebagai berikut:
الَّذِينَ
ءَامَنُوا
وَتَطْمَئِنُّ
قُلُوبُهُمْ
بِذِكْرِ
اللَّهِ
أَلَا بِذِكْرِ
اللَّهِ
تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
”(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
d.
Relaksasi
Pada saat emosi memuncak sistem
kimiawi tubuh ikut berubah dan dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan fisik
dan psikis. Untuk mereduksi pengaruh-pengaruh buruk itu perlu segera
dikembalikan ke posisi equilibrium normal dengan cara relaksasi. Rasulullah
saw. memberi solusi ketika seseorang marah (mewakili emosi negatif) agar segera
mengubah posisi ketika itu.
إِذَا
غَضِبَ
أَحَدُكُمْ
وَهُوَ
قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ
فَإِنْ
ذَهَبَ
عَنْهُ
الْغَضَبُ
وَإِلَّا
فَلْيَضْطَجِعْ
“Jika seseorang di antara kamu marah dalam posisi
berdiri, maka hendaklah ia duduk mudah-mudahan marahnya hilang. Kalau belum reda juga, maka
sebaiknya ia berbaring.”
B.
Pengertian
Nilai, Moral, dan Sikap
Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna,
pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu,
termasuk juga perilaku remaja.
1.
Nilai
Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka
kepandaian. Adapun menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang
dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif
keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam
perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan
nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial
sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui
kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh
subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya
merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif,
sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh
objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.Menurut
Harrocks, Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok
sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang
ingin dicapai.
Dalam buku Psikologi
Perkembangan Peserta Didik oleh Prof. Sinolungan mengatakan nilai adalah
suatu yang diyakini kebenarannya, dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta
diwujudkan dalam sikap atau perilakunya. Jadi, nilai bersifat
normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya
nilai kesopanan dan kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang selalu
bersikap sopan santun akan selalu berusaha menjaga
tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang
buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian
dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan
terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.
Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan
secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik
bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual
yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan
yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan
psikologisnya. Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis,
yaitu:
a.
Nilai
teori atau nilai keilmuan (I)
Mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang yang
bekerja terutama atas dasar pertimbangan rasional.
b.
Nilai
ekonomi (E)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau
kelompok orang atas dasar pertimbangan ada tidaknya keuntungan finansial
sebagai akibat dari perbuatannya.
c.
Nilai
sosial atau nilai solidaritas (Sd)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap
orang lain tanpa menghiraukan akibat yang mungkin
timbul terhadap dirinya sendiri, baik berupa keberuntungan atau ketidakberuntungan.
d.
Nilai
agama (A)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas
dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu dipandang benar menurrut
ajaran agama.
e.
Nilai
seni (S)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau
kelompok atas dasar pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas
dari berbagai pertimbangan material.
f.
Nilai
politik atau nilai kuasa (K)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau
kelompok orang atas dasar pertimbangan baik buruknya untuk kepentingan dirinya
atau kelompoknya.
2.
Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang
artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau
kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral
merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur
perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu
sebagai anggota sosial. Moralitas merupakan aspek
kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial
secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral
diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban,
dan keharmonisan.
Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja
terdiri dari mengganti konsep-konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral
tentang benar dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan
pada prinsip-prinsip moral individual, dan mengendalikan perilaku melalui
perkembangan hati nurani.
Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan
pengkajian perkembangan perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Berdasarkan penelitiannya, Kohlbert (1995) menarik
sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a.
Penilaian
dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
b.
Terdapat
sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus
diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan moralnya.
c.
Membenarkan
gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai
tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Ada tiga
tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
a.
Mengganti
konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
b.
Merumuskan
konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kodeprilaku.
c.
Melakukan
pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Tahap-tahap
perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang dikemukakan
oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:
a.
Tingkat
Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan
ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat
fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang
menyakitkan atau kenikmatan. Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan
menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari
akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan
tanpa mempersoalkannya.
Tahap 2:
Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah
perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk
memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang
berorientasi pada untung-rugi.
b.
Tingkat
Konvensional
Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan
keluarga, kelompok, atau masyarakat. Tingkat
konvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau
desebut orientasi “Anak Manis”.
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah
yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.
Tahap 4:
Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas,
aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah
semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas, aturan yang
tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua
ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
c.
Tingkat
Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip.
Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan
ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan
prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari
otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas
pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.Tingkat pascakonvensional
memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada
utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak
dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati
oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran
yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan
relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural
untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang
telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah
nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada
sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah
hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan
unsur pengikat kewajiban.
Tahap 6:
Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai
dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada
komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak
dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada
dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak
asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.
Berdasarkan tingkatan dan tahapan perkembangan moral,
kohlberg (1995) menerjemahkannya ke dalam motif-motif individu dalam melakukan
perbuatan moral. Sesuai
dengan harapan perkembangan moral, motif-motif perilaku moral manusia adalah
sebagai berikut:
Tahap 1:
Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan
suara hati yang pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
Tahap 2:Perbuatan moral individu dimotivasikan oleh keinginan untuk
mendapat ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi
rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis (membedakan rasa
takut, rasa nikmat, atau rasa sakit dari akibat hukuman).
Tahap 3:
Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara
hipotesis.
Tahap 4:
Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan
yang mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan
rasa bersalah diri atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.
Tahap 5:Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan
terhadap upaya mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat
yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi , keprihatinan
terhadap rasa hormat bagi diri sendiri (misalnya, untuk menghindari sikap
menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten,
dan tanpa tujuan).
Tahap 6:Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan
terhadap sikap mempersalahkan diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri.
Individu cenderung membedakan rasa hormat dari diri sendiri.
Selain itu juga dibedakan antara rasa hormat terhadap diri karena
mencapai rasionalitas dan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu
mempertahankan prinsip-prinsip moral.
3.
Sikap
Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah
predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap
suatu objek. Sikap
merupakan variabel laten yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku.
Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku,
tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi
perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap
dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons
reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau
situasi.
Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of
Psychology menyamakan sikap dengan pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari
sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita
cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan
berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang
menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi
di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa
darin tingkah laku individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan
pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi
sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu adalah
propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan
lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap
dan perilaku individu.
Stephen
R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik
sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
a.
Determinisme
genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu
diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap
dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
b.
Determinisme
psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu
merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan
kepada anaknya.
c.
Determinism
lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan
sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan
bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan
memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita, situasi ekonomi,
atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk perkembangan sikap
individu.
Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu
yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku
sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun
jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong para
psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia.
Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu,
kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum
sebagai dasar penafsiran dan penilaian sikap.
Dari
beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang
utama dan dikenal sangat luas, yaitu:
a.
Skala
Likert
Dalam skala ini disajikan satu seri
pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian responden diukur sikapnya untuk menjawab
dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban yang
telah disediakan. Yaitu:
1)
Sangat
setuju
2)
Setuju
3)
Ragu-ragu/netral
4)
Tidak
setuju
5)
Sangat
tidak setuju.
b.
Skala
Thurstone
Dalam skala ini terdapat sejumlah pernyataan
derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda dan responden/subjek yang bersangkutan
dapat menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap pernyataan-pernyataan
tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih sedemikian rupa sehingga tersusun
sepanjang satu skala interval-sama, dari yang sangat menyenangi sampai yang
sangat tidak menyenangkan.
C.
Perkembangan
Nilai, Moral dan Sikap
Menurut Danel Susanto, pertumbuhan ataupun perkembangan
pada masa remaja biasanya ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan, seperti
dibawah ini:
1.
Perubahan
fisik
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat
dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang
mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan berfungsi.
Disamping itu tanda-tanda seksualitas sekunder juga mulai
nampak pada diri remaja.
2.
Perubahan
intelek
Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean
Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa konkrit-operasional ke masa
formal-operasional. Pada
masa konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal
atau obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal
yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja,
seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3.
Perubahan
emosi
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil.
Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley
Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada
kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun
penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan
sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila
dibandingkan dengan pengaruh hormonal.
4.
Perubahan
sosial
Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang
baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena
pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai
orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan
bertingkah laku seperti orang dewasa. Pada masa
remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman
sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan
tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini
bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh
keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa,
kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi
remaja untuk melatih cara mereka bersikap,
bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok
ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat
sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting”
dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
5.
Perubahan
moral
Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku
moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi
juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja.
Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat
diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku
moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja,
seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu
menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat,
serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.
Ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni:
1.
Pendekatan
penanaman nilai (inculcation approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai
sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada
pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang tidak sesuai
dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976).
Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih
nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al.
(1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita
tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan
datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk
menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu
diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka
dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
2.
Pendekatan
perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach)
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif
tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut
pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat
pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat
yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin
dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama,
membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan
kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa
untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam
suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985). Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh
Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan
lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980).
Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai
berikut:
a.
Tahap “premoral” atau “preconventional”. Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong
oleh desakan yang bersifat fisikal atau social
b.
Tahap “conventional”. Dalam tahap ini seseorang
mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria
kelompoknya.
c.
Tahap “autonomous”. Dalam tahap ini seseorang
berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan
dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan
moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap
anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka
patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan
kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
3.
Pendekatan
analisis nilai (values analysis approach)
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan
kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara
menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah
satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih
menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial.
Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan
pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.
4.
Pendekatan
klarifikasi nilai (values clarification approach)
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha
membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk
meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan
pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi
penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang
berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak
ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak
terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan
adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
5.
Pendekatan
pembelajaran berbuat (action learning
approach) (Superka, et. al. 1976).
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Menurut Elias (1989), walaupun
pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan “moral reasoning”
dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan
pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.
D.
Hubungan
antara Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk
sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari,
sedangkan sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan individu untuk
merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek bebagai perwujudan dari
sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai
moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap
individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai
yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana
yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap
dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang
mendasarinya.
Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah
menjelaskan melalui teori Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap
adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian
manusia itu terdiri dari tiga, yaitu:
1. Id atau Das
Es
2.
Ego atau Das Ich
3.
Super
Ego atau Da Uber Ich
Id berisi dorongan naluriah, tidak
rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat memenuhi dorongan
kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan dan
menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif dari
kepribadian yang memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian individu.
Tugs utama Ego adalah mengantar dorongan-dorongan naluriah
dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar. Superego
adalah sumber moral dalam kepribadian. Superego
adalah kode moral individu yang tugas utamanya adalah mempertimbangkan apakah
suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Superego
memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong ke
arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan
sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang
telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan
cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga
akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi
karena superego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol
dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan
kepuasan. Berkembangnya superego dengan baik, juga akan
mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id
dan superego, sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia
sekelilingnya.
E.
Karakteristik
Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri,
dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya
maka masa remaja menjadi suatu periode penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang
sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat
diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya
sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin
matang.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral
remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai
mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir
abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka
pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak hanya lagi terikat pada
waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar
hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh
kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan
pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu
mempertanggujawabkan secara pribadi.
Tingkat perkembangan fisik psikis yang dicapai remaja
berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok
dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang
nilai-nilai dasar hidup orang tua atau orang dewasa lainnya. Apabila kalau orang tua dan orang dewasa berusaha memaksakan
nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap
menentang pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para remaja merupakan
gejala wajar yang terjadi sebagai untuk kemampuan berfikir kritis terhadap
segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada
remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta
berkembang ke arah moralitas yang lebih matang dan mandiri.
F.
Teori
Perkembangan Moral
1.
Perkembangan
Moral Menurut Jean Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui
pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur
kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya.
Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu
anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan
waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan
menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan. Dalam
permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah
usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan
anak mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan,
meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12
tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan
permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk
menghindari pertikaian antar pemain.
Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak
menjadi dua tahapan, yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous. Sebelum mempelajari perbedaan kedua tahap tersebut
berikut ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan
dengan pengamatan Piaget terhadap anak-anak yang sedang bermain kelereng.
a)
Pengembangan aturan permainan
Sebelumnya telah dibahas bahwa Piaget mencoba
mempelajari tingkah laku anak melalui permainan kelereng. Hal itu dilakukan Piaget untuk
memahami bagaimana anak-anak berpikir dan menyesuaikan konsepsinya mengenai
aturan-aturan yang berlaku. Jean Piaget memilih
permainan kelereng, selain untuk memperoleh jawaban atas penelitiannya, juga
untuk memberikan kebebasan anak-anak untuk menjelaskan dan membuat aturan
sendiri. Dari hasil wawancaranya dengan anak-anak pada tingkat usia yang berbeda, diperolehlah jawaban yang berbeda-beda
pula. Berikut ini hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:28),
diketahui bahwa:
1)
Anak-anak
disekitar usia 3 tahun, belum mengembangkan
permainannya sendiri dan cenderung bermain individual tanpa kerjasama.
Anak-anak pada usia ini cenderung menerima aturan
tanpa proses pertimbangan terlebih dahulu.
2)
Anak-anak
usia 3-5 tahun, mulai bermain secara berkelompok,
meskipun masing-masing anak masih menganggap pendapatnya yang paling benar.
Anak-anak ini belum memiliki empati dan belum mampu menempatkan diri dalam
pergaulan. Anak-anak pada usia ini cenderung
memperhatikan aturan yang berasal dari orang dewasa, meskipun pada usia ini
mereka sering melanggar aturan tersebut.
3)
Anak usia 7-8 tahun, mulai muncul perhatian untuk menyeragamkan
aturan permainan meskipun aturan permainannya umumnya masih belum jelas
(kabur).
4)
Anak usia 11-12 tahun, mulai dapat menentukan dan membuat
kesepakatan bersama tentang aturan permainan. Anak sudah dapat melihat bahwa
aturan sebagai suatu yang bisa diubah dan dibuat berdasarkan kesepakatan.
b)
Intensi dan konsekuensi
Konsepsi anak tentang aturan dapat berubah-ubah sesuai
dengan tahap perkembangan moralnya. Untuk memahami perubahan konsepsi yang terjadi, Piaget
menghadapkan anak pada masalah-masalah moral seperti berbohong.Dari hasil
penelitiannya, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:31)menyatakan, bahwa
anak-anak dengan usia lebih muda cenderung menilai suatu perbuatan berdasarkan
konsekuensi yang hanya bersifat material. Anak-anak dengan usia
yang lebih tua berpikir sebaliknya, mereka sudah mampu memperhatikan intensi
kesalahan yang muncul dari suatu perbuatan. Intensi dan
komsekuensi merupakan gambaran perubahan perkembangan moral dari tahap
heteronomous ke tahap autonomous. Dalam mengetahui pendapat anak tentang
makna berbohong, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:32) melakukan tanya jawab dengan anak-anak. Pada tanya
jawab itu, diperolehlah hasil bahwa anak-anak yang lebih muda usianya memberi
makna bahwa bohong sesuatu yang jelek dan tidak seorangpun sanggup
mengatakannya. Anak-anak yang usianya lebih tua memberi makna
bohong adalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya dan tidak baik untuk
diucapkan.
c)
Hukuman-hukuman ekspiatoris dan resiprokal
Melalui cerita-cerita sederhana yang berhubungan dengan
pelanggaran dalam keluarga, yaitu antara orang tua dan anak, Piaget mencoba
untuk mengidentifikasi konsepsi anak-anak mengenai keadilan. Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo,
1985:33) mengklasifikasikan hukuman ke dalam dua bentuk, yaitu hukuman-hukuman yang
bersifat ekspiatoris (expiatory punishment) dan hukuman-hukuman yang bersifat
resiprositas (reciprocity punishment).
Hukuman yang bersifat ekspiatoris, Sherwood (dalam
Cahyono dan Suparyo, 1985:33) mengemukakan, bahwa hukuman harus atas
pertimbangan yang wajar antara bobot kesalahan dan juga bobot penderitaan si
pelanggar atas hukuman yang ditimpakan. Contoh hukuman ekspiatoris dalam keluarga antara lain memukul, menampar, tidak memberi uang jajan, dilarang
bermain untuk sementara waktu, dan sebagainya. Hukuman yang
bersifat resiprositas (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:34) senantiasa membuat
keterkaitan antara hukuman dengan tindakan kesalahan yang dibuat.
Melalui hal tersebut, diharapkan si pelanggar sadar akan
akibat-akibat perbuatannya. Bentuk hukuman resiprositas dapat
berupa ganti rugi dan pengucilan.
Berdasarkan hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan
Suparyo, 1985:34), diketahui bahwa hukuman resiprositas dikembangkan oleh
anak-anak yang tingkat perkembangan moralnya pada tahap Autonomous. Dari 100 anak yang diwawancarai, Piaget mencatat bahwa
anak pada usia 6-7 tahun 30% memilih hukuman ini, anak pada usia 8-10 tahun
mencapai 50% memilih hukuman ini, dan anak pada usia 11-12 tahun mencapai 80%
memilih hukuman ini. Sebaliknya, hukuman ekspiatoris dipilih
anak-anak yang perkembangan moralnya pada tahap heteronomous. Anak-anak
pada tingkat usia ini, percaya bahwa keadilan selalu
berhubungan dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan seseorang, dan orang
tersebut akan memperoleh hukuman atas kesalahannya tersebut secara alamiah.
d.
Antara Equality dan Equity
Membahas mengenai keadilan, Piaget menekankan pada dua
bentuk keadilan distributif yaitu equality
dan equatity. Menurut pandangan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo,
1985:35), equality yaitu pemikiran bahwa tiap manusia harus diperlakukan
secara sama, sedangkan equity yaitu pemikiran
yang lebih mempertimbangkan tiap-tiap individu. Untuk
mengamati perbedaan kedua bentuk keadilan distributif tersebut, Piaget
mengangkat masalah-masalah ke dalam sebuah cerita untuk mengetahui respon
anak-anak berdasarkan tingkat usianya. Dari respon-respon yang muncul,
Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:36) membedakan respon tersebut ke dalam
tiga tahap yaitu:
1)
Tahap Just,
di mana anak berpikir bahwa apa yang dikatakan orang
dewasa adalah ibarat hukum yang harus dijalankan.
2)
Tahap Equality
Orientation, di mana anak berpikir bahwa tidak peduli saat menghadapi
hukuman ataupun sedang menolak perintah, mereka akan
lebih melihat kekuasaan tertinggi.
3)
Tahap Equity
Dominates, di mana anak berpikir bahwa equalitas (perlakuan sama) tidak akan pernah dikembangkan tanpa memperhatikan
situasi yang dihadapi tiap individu.
Berdasarkan
pembahasan dan penjabaran di atas, Piaget (dalam Slavin, 2006:52), menyimpulkan bahwa terdapat dua tahap perkembangan
moral dengan ciri-cirinya masing-masing,yaitu sebagai berikut:
Tabel Tahap Perkembangan Moral Piaget
Tahap heteronomous (tahap realisme moral) Anak usia <12 tahun |
Tahap Autonomous (tahap independensi moral) Anak usia >12 tahun |
Diberi
label tahap moralitas kendala |
Diberi
label tahap moralitas kerjasama |
Aturan
dipandang sebagai paksaan dari orang yang lebih dewasa |
Aturan
dipandang sebagai hasil kesepakatan bersama |
Menilai
perilaku moral berdasarkan konsekuensinya |
Menilai
perilaku moral berdasarkan niat pelakunya |
Hukuman
dipandang sebagai konsekuensi otomatis dari pelanggaran |
Hukuman
dipandang sebagai sesuatu hal yang tidak serta merta, namun dipengaruhi oleh
niat pelakunya |
2.
Perkembangan
Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg
membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional,
tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga
tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap
tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu
menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus meninggalkan penalaran
moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara
tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda
meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Tahapan-tahapan perkembangan moral yang dikemukakan
Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan perkembangan
moral dalam teori Piaget. Berikut ini adalah tiga tingkat perkembangan moral menurut
Kohlberg (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat
memuat dua tahap perkembangan moral:
a.
Tingkat Prekonvensional
Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap
norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan
sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat
yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan. Anak juga
menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang menerapkan
norma-norma tersebut. Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi
dua tahap yaitu:
1.
Tahap Punishment and Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa
konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan
baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti
dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang
buruk.
2.
Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau
Hedonistic Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila
tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang
lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri
sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai
tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan. Pada
tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang
berlangsung di pusat perbelanjaan, di mana terdapat timbal balik dan sikap
terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.
b.
Tingkat Konvensional
Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi
harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu
tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan
konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai
dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku. Pada
tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui
keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin
hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di
sekitarnya. Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
1.
Tahap Interpersonal Concordance atau
Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral
adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan
diterima oleh orang lain. Anak biasanya akan
menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan bermoral. Moralitas suatu tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam
tindakan tersebut. Jadi, setiap anak akan
berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
2.
Tahap Law and Order Orientation
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada
otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib
sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada
pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan
tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada.
c.
Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak
untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas
yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu
dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua
tahap perkembangan moral, yaitu:
1.
Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup
tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan
tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi
ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh
masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini
menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena
itu, tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat.
Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan
salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi
seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga
dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.
2.
Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar
tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau
masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan
dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip
tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip
umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.
Pengaruh Teori-Teori Perkembangan Menurut Piaget dan
Kohlberg dalam Dunia Pendidikan
Dalam teori Piaget, disimpulkan bahwa pendidikan
sekolah seharusnya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan siswa mengambil
keputusan dan memecahkan masalah. Pembinaan perkembangan moral
dilakukan dengan cara-cara yang menuntut siswa untuk mengembangkan aturan yang
adil. Pendidikan nilai menitikberatkan kepada
pengembangan perilaku yang dilandasi oleh penalaran moral dalam kehidupan
masyarakat.
Dalam teorinya, Kohlberg menolak konsep pendidikan
nilai/karakter tradisional yang berdasarkan pada pemikiran bahwa ada
seperangkat kebajikan seperti kejujuran, kesabaran, dan sebagainya yang menjadi
landasan perilaku moral. Konsep tersebut dinilai tidak membimbing siswa untuk memahami
kebajikan mana yang sungguh baik untuk diikuti. Oleh karena itu,
Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan
klasifikasi nilai yang bertolak dari asumsi bahwa tidak ada satu-satunya
jawaban yang benar terhadap suatu persoalan moral, tetapi di dalamnya ada nilai
yang penting sebagai dasar berpikir dan bertindak.
G.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis,
sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan
keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan
beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan
nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.
1.
Lingkungan
Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi
perkembangan nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang
berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki
hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar
mereka tidak mampu mengembangkan superegonya sehingga mereka bias menjadi orang
yang sering melakukan pelanggaran norma.
2.
Lingkungan
Sekolah
Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga mereka juga dapat
menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan. Tentunya
dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan
guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus
memiliki moral yang baik.
3.
Lingkungan
Pergaulan
Dalam pengembangan kepribadian, factor lingkungan
pergaulan juga turut mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya seseorang
selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu
ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan
terkadang seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya.
4.
Lingkungan
Masyarakat
Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting
terhadap pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya
control dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri
untuk pelanggar-pelanggarnya.
5.
Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki
pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak
menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh: internet
memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara
langsung.
Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari
bahan pelajaran yang mereka butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai
negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja.
Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat
rentan terhadap informs seperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara
matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak
kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola
interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan
berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta
sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya individu yang tumbuh dan berkembang
dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak
jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar
anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki
nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi
diragukan.
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh
lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari
orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nlai-nilai dan
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam
mengembangkan nilai moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama
pada waktu anak masih kecil. Menurut Adamm dan Gullotta, terdapat
beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua mempengaruhi nilai
remaja, yaitu sebagai berikut :
1.
Terdapat
hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral
orangtua.
2.
Ibu-ibu
remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar
moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal
mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang
nakal.
3.
Terdapat
dua faktor yang dapat meningkatkan perkembangan
moral anak atau remaja, yaitu: orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi
secara demokratik dan terbuka mengenai berbagai isu, dan orangtua yang
menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif.
Beberapa
sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral
anak, diantaranya sebagai berikut :
a.
Konsisten
dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu
kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu
waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.
b.
Sikap
orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak,
sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral
anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras
(otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap
yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang
bertanggung jawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih
sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis).
c.
Penghayatan
dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak,
termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious
(agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan
tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan
moral yang baik.
d.
Sikap
konsisten orang tua dalam menerapkan norma
Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong,
atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari prilaku
berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar
berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat
beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak
akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan
orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orang
tuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku seperti orangtuanya.
Faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangan moral :
1.
Kurang
tertanamnya jiwa agama pada setiap orang dalam masyarakat.
2.
Keadaan
masyarakat yang kurang stabil.
3.
Tidak
terlaksanamya pendidikan moral yang baik.
4.
Kurangnya
kesadaran orang tua akan pentingya pendidikan moral
dasar sejak dini.
5.
Banyaknya
orang yang melalaikan budi pekerti.
6.
Suasana
rumah tangga yang kurang baik.
7.
Kurang
adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang.
8.
Kurangnya
tempat layanan bimbingan.
H.
Perbedaan
Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap.
Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta
dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu
dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang
dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga
tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga
yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan
bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih
bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang
sedang merak dikalangan selebritis.
Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi
nilai, moral dan sikap, tergantung dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan
bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang
dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg, 1963). Sedangkan pada anak-anak yang berusia lebih tua, mereka bisa
menawar aturan-aturan tersebut kalau disetujui oleh semua orang.
Pada sebagian remaja dan orang dewasa yang penalarannya
terhambat, pedoman mereka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat kedua sudah ada pengertian
bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus memikirkan
kepentingan orang lain. Perbedaan perseorangan juga dapat
dilihat pada latar belakang kebudayaannya. Jadi, ada
kemungkinan terdapat individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan
nilai, moral dan sikap serta tingkah laku yang diharapkan padanya.
Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan
individual dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat tentang sistem nilai,
moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan individual didukung oleh
fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu. Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga
dikatakan bahwa setiap individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang
paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan antara
individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu kelompok sosial tertentu.
Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada
waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat
pemikirannya.
I.
Upaya
Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi Pendidikan
Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha
menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang
cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki
dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan,
serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua,
masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses pendidikan, pengasuhan,
pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif
lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang
baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang
diharapkan.
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan
sendirinya. Tidak semua individu mencapai pengembangan nilai-nilai hidup,
perkembangan moraldan tingkah laku seperti yang diharapkan. Adapun
upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,moral
dan sikap remaja adalah berikut:
1.
Menciptakan
komunikasi.
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi
tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya memberikan evaluasi,
tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif dalam beberapa
pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan
keluarga, teman sepergaulan, serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya anak diberi kesempatan untuk kerja
atau diskusi kelompok. Sehingga anak berperan secara
aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Anak
tidak hanya harus mendengarkan tetapi juga harus dirangsang agar lebih aktif.
Misalnya mengikutsertakan ia dalam pengambilan
keputusan di keluarga dan pemberian tanggung jawab dalam kelompok sebayanya. Karena nilai-nilai kehidupan yang dipelajari barulah betul-betul
berkembang apabila telah dikaitkan dalam konteks kehidupan bersama.
2.
Menciptakan
iklim lingkungan yang serasi.
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan
moral dan kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan
nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan secara
positif, jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai
hidup tersebut. Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh
karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk
dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas
diri,kepribadian yang matang dan menghindarkan diri
dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa ini. Nilai
nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengatur tingkah
laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu lingkungan yang
lebih bersifat mengajak, mengundang, atau member kesempatan akan
lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya larangan-
larangan yang bersifat serba membatasi.
REFERENSI :
Ahmadi Abu.
2003. Psikologi Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Saleh
Rahman Abdul dan Wahab Abdul Muhbib. 2009. Psikologi Suatu Pengantar (Dalam Prespektif
Islam). Jakarta : Kencana.
Sarwono W
Sarwito. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
Ali,
Mohammad dan Asrori, Muhammad. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta:PT Bumi Aksara.
Corey, Gerald.
2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika
Aditama.
Hurlock,
Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Panuju,
Panut dan Umami, Ida. 1999. Psikologi
Remaja . Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Cahyono,
C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan Moral.
Malang: IKIP Malang.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Manning, S.A.
1977. Child And Adolescent Development.
Washington, D.C: Departement of Psychology University of the District of
Columbia.
Slavin, R.E.
2006. Educational Psychology Theory and Practice.
United States of America: Johns Hopkins University.
Universitas
Negeri Yogyakarta. Dasar-Dasar Pengertian Moral. (Online)
http://www.duniapsikologi.com/emosi/
diakses pada tanggal 13 Mei 2015pukul 23:00 WIB
http://akhmadsudrajat.wordpress.com
diakses pada tanggal 13 Mei 2015 pukul 13.30 WIB
Duniapsikologi.com.2012."Kematangan Emosi;Pengertian
dan Faktor yang Mempengaruhi". Dalam http://www.duniapsikologi.com/kematangan-emosi-pengertian-dan-faktor-yang-mempengaruhi/
diakses pada tanggal 16 Mei 2015 pukul 16.00 WIB.
Google.2012."Emosi: Kematangan Emosi". Dalam
http://enggarasyari.wordpress.com/2012/01/13/emosi-kematangan-emosi
diakses pada tanggal 16 Mei 2015 pukul 16.35WIB.
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/DASAR%20PENGERTIAN%20MORAL.pdf
), diakses 16 Mei 2015 pukul 20.30 WIB.
http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/256-emosi-menurut-perspektif-al-quran diakses pada tanggal 17 Mei 2015 pukul 13.58 WIB
http://km07010017.blogspot.com/2012/01/emosi-dalam-pesrfektif-al-quran.html
diakses pada anggal 17 Mei 2015 pukul
14. 15 WIB
0 komentar:
Posting Komentar